WAKTU PELAKSANAAN SHALAT DHUHA
Sebagaimana namanya, Dhuha, maka Shalat Dhuha dikerjakan pada waktu dhuha. Lantas kapan waktu dhuha tersebut ada?
Dhuha adalah sebutan untuk waktu sejak setelah matahari terbit hingga menjelang zawal. Al-Imam Asy-Syaukani t menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya Shalat Dhuha; Al-Imam An-Nawawi t dalam kitab Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk sejak terbitnya matahari. Akan tetapi disenangi mengakhirkan pelaksanaannya sampai matahari meninggi. Sebagian lagi berpendapat, waktu dhuha mulai masuk ketika matahari sudah meninggi, dan pendapat inilah yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar: 2/329)
Dalam kitab Zadul Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari berlalunya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.” Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat ketika matahari tepat berada di tengah langit. Waktu shalat dhuha yang paling utama adalah apabila sinar matahari sudah terasa panas menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’: 1/176)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjelaskan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal pagi sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi n tentang Shalat Awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’: 4/88)
Dari dua pendapat di atas bisa dikompromikan bahwa dari sisi penamaan (bahasa), waktu dhuha sudah masuk sejak terbit matahari hingga zawal. Namun dari sisi syariat, yakni ketika waktu dihubungkan dengan Syariat Shalat Dhuha, maka waktu dhuha mulai masuk sejak berlalunya waktu teralarang untuk shalat hingga sesaat menjelang zawal. Karena kedua waktu tersebut (ketika matahari terbit dan ketika matahari berada di atas kepala) adalah waktu terlarang untuk shalat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n,
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Sedangkan batas akhirnya dijelaskan oleh hadits Uqbah bin Amir beliau menceritakan,
“Tiga waktu dimana Rasulullah n melarang kami untuk shalat padanya dan melarang kami menguburkan orang yang meninggal di antara kami; yaitu ketika matahari terbit sampai agak meninggi, ketika matahari berada di tengah langit sampai ia condong (ke barat), dan ketika matahari menjelang tenggelam sampai tenggelam.” (HR. Muslim, no. 831)
Waktu yang Paling Utama
Waktu yang paling utama untuk mengerjakan Shalat Dhuha adalah ketika sudah masuk waktu siang. Sebagaimana hadits dari Zaid bin Arqam a bahwa beliau melihat orang-orang sedang shalat pada awal dhuha, maka beliau berkata, “Tidakkah orang-orang itu mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah n bersabda,
صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)
Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani mengabarkan,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَتَى بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَأُتِيَ بِثَوْبٍ فَسُتِرَ عَلَيْهِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ قَامَ، فَرَكَعَ ثَمَانِي رَكَعَاتٍ…
“Rasulullah n datang pada hari Fathu Mekkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat.” (HR. Muslim No. 1665)
Al-Imam An Nawawi t dan Imam Ash-Shan’ani menjelaskan bahwa, “Ar-Ramdha’ adalah hawa panas dari pasir atau tanah yang terbakar panas matahari. Dan hal itu terjadi ketika matahari sudah meninggi. Shalat awwabin adalah yang yang dikerjakan ketika kaki-kaki anak-anak unta merasa sangat kepanasan karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Sedangkan awwab artinya orang yang taat. Ada pula yang mengatakan awwab artinya orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan Shalat Dhuha, walaupun shalat Dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari hingga menjelang zawal.” (Al-Minhaj: 6/272, Subulus Salam: 2/293)
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
Jumlah minimal rakaat Shalat Dhuha adalah dua rakaat, sebagaimana hadits Abu Hurairah di depan. Bisa juga mengerjakan empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau duabelas rakaat, atau tanpa batasan, karena semuanya memiliki pijakan dari sunnah Rasulullah n. (Shalatul Mukmin: 1/449, Syarh Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin:
Dalil Shalat Dhuha empat rakaat hingga tanpa batasan adalah hadits Aisyah s,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ
Dari Aisyah s beliau berkata, “Rasulullah n shalat Dhuha empat rakaat dan menambahnya sesuai dengan kehendak Allah.” (HR. Muslim)
Juga Abu Darda’ dan Abu Dzar h bahwa Rasulullah n bersabda, “Allah l, berfirman,
ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat pada awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, Ahmad, no. ) At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Sedangkan dalil bahwa Rasulullah n Shalat Dhuha delapan rakaat adalah hadits Ummu Hani. Ibnu Abi Laila mengatakan bahwa,
مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى الضُّحَى غَيْرَ أُمِّ هَانِئٍ فَإِنَّهَا قَالَتْ إِنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ فَلَمْ أَرَ صَلاَةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ.
“Tidak ada yang mengabarkan kepadaku bahwa Nabi n melakasanakan Shalat Dhuha selain Ummu Hani. Ia menceritakan bahwa Nabi masuk ke dalam rumahnya pada peristiwa Fathu Mekah, kemudian beliau mandi, kemudian lalu beliau shalat delapan rakaat. Saya tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan selain dari shalat yang delapan rakaat tersebut, namun Nabi n menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 1176, Muslim, no. 336)
Imam Asy-Syaukani mengatakan, “Ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang jumlah rakaat Shalat Dhuha Rasulullah, riwayat yang paling kuat dari perbuatan beliau adalah 8 rakaat, dan jumlah rakaat paling banyak dari perkataan beliau adalah 12 rakaat.” (Nailul Authar: /353)