Hadits ke-1 dan ke-2
عَنْ عَمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ
يَقُوْلُ
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Dari
Umar bin Khaththab radliyallahu’anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam
bersabda,”Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap
orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan; barang
siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang
hendak dinikahinya maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq
alaih)[1]
عَنْ عائشة قالت قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ -وفي
رواية مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Dari
Tamim ad Dari a ia berkata Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda, “Barang siapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami, maka ia tertolak.” [2]
Dalam riwayat yang lain, “Barang siapa yang mengerjakan suatu
amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” (Muttafaq
alaih)[3]
Kedua hadits ini adalah hadits yang
agung. Seluruh urusan agama (Islam) masuk dalam cakupan kedua hadits ini; pokok maupun
cabangnya; baik yang nampak maupun yang tersembunyi, hadits Umar adalah
timbangan untuk menilai (baik buruknya) bersifat batiniyah, sedangkan hadits
Aisyah adalah timbangan untuk seluruh amalan lahiriyah.
Dalam kedua hadits ini terdapat dua
masalah yang sangat mendasar, pertama, mengikhlaskan ibadah hanya kepada
Allah dan mencontoh Rasulullah n. Hal mana keduanya adalah syarat diterimanya
setiap perkataan dan perbuatan, baik yang bersifat lahir maupun batin. Barangsiapa
yang mengikhlaskan amalnya untuk dan karena Allah dan mencontoh Rasulullah n,
maka amalnya diterima disisi Allah, sebaliknya siapa yang kehilangan kedua atau
salah satu dari dua unsur tersebut dalam amalannya maka amalannya tertolak. Dan
itu termasuk jenis amal yang sia-sia, seperti dalam firman Allah,
!$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
“Dan Kami hadapi segala
amal yang mereka kerjakan[1062], lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Sedangkan
orang yang bisa memadukan antara ikhlas dan mutaba’ah, maka itulah amalan yang
disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYÏ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim
menjadi kesayanganNya.” (QS, an-Nisa: 125)
“(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS, al-Baqarah: 112)
Niat adalah menyengaja untuk mengerjakan sesuatu dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah, mengharap ridha dan pahala-Nya. Sehingga dengan demikian
amalan yang dimaksud dalam hadits di atas mencakup niatan mengerjakan sesuatu
(ibadah) maupun sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
(meski pada asalnya ia bukanlah ibadah)
Adapun niat dalam persoalan ibadah, maka tidak sah
(amalan) seperti bersuci dengan segala jenisnya, shalat, zakat, shaum, haji,
kecuali dengan menyengaja dan meniatkannya secara definitif (jelas). Jika
ibadah yang akan dikerjakan mempunyai banyak ragam dan jenisnya, misalnya
shalat, ada (shalat) yang wajib, sunnah tertentu dan sunnah mutlak, maka jika
yang akan dikerjakan termasuk kategori mutlak cukup dengan niat secara mutlak pula, namun jika
yang hendak dikerjakan adalah ibadah yang tertentu (mu’ayyan), seperti shalat
witir dan sunnah rawatib, maka niatnya juga harus jelas untuk mengerjakan
shalat yang dimaksud. Demikian yang berlaku dalam jenis ibadah yang lainnya.
Demikian juga seseorang harus membedakan antara ibadah
dan adat kebiasaan, seperti mandi yang dilakukan dengan maksud sekedar
membersihkan diri atau menghilangkan panas dengan mandi yang dimaksudkan untuk
menghilangkan hadats besar, memandikan mayit atau shalat jum’at. Dalam
mengerjakan amalan yang dicontohkan tadi harus disertai dengan niat menghilangkan hadats atau mandi sunnah. Demikian
juga orang yang membelanjakan hartanya untuk zakat, nadzar, atau kafarat, atau
untuk besedekah, atau hadiah, yang menjadi patokan dalam semua hal tadi adalah
niatnya.
Berdasarkan penjelasan di atas juga bahwa melakukan hiyal
(mengakali suatu) dalam bermuamalat yang secara lahir sah hukumnya, namun
diniatkan/dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan transaksi yang mengandung
riba (misalnya), atau untuk menghindari suatu kewajiban, atau sarana untuk
mencapai sesuatu yang diharamkan syariat, maka yang menjadi patokan hukum boleh
atau tidaknya adalah maksud dan niatnya bukan bentuk dan lafal lahiriyahnya,
karena semua amal tergantung niatnya. Seperti menggabungkan dua barang secara tidak
langsung atau menggabungkan dua akad menjadi satu secara tidak langsung.
Demikian menurut pendapat Syaikul Islam Ibnu Taimiyah.
Demikian juga yang berlaku dalam masalah ruju’ setelah
bercerai, atau dalam masalah wasiat; tidak diperbolehkan melakukannya dengan
maksud menimpakan kejelekan kepada pihak istri atau orang yang diberikan
wasiat. Demikian yang berlaku dalam seluruh sarana yang menghantarkan kepada
maksud tertentu, hukum yang berlaku sesuai dengan maksud (tujuan), karena dalam
kaidah ushul dikatakan,
الوسائل لها أحكام المقاصد
Sarana
itu dihukumi sama dengan tujuan
Baik
dalam hal sah atau tidaknya, dan Allah Maha Mengetahui orang yang (bermaksud)
berbuat baik atau berbuat kerusakan.
Adapun kebenaran niat kaitannya
dengan kepada siapa amal itu ditujukan, yakni Allah Azza wa Jalla, maka
bentuknya adalah mengikhlaskan seluruh apa yang dilakukan seorang hamba baik
yang berupa melaksanakan perintah maupun meninggalkan larangan, dalam setiap
perkataan maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka
beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya.”
(QS. al-Bayyinah: 5)
“Bukankah
kepunyaan Allah agama yang murni itu.” (QS. az-Zumar: 3)
Ikhlas adalah dengan menyertakan
niat secara umum dalam seluruh urusan yang dimaksudkan untuk mencari wajah
Allah, mendekatkan diri, mengharapkan pahala, dan takut terhadap hukuman-Nya.
Kemudian menyertakan niat ikhlas tadi dalam setiap perkataan dan perbuatan yang
ia lakukan secara khusus, dan segala keadaan, bersungguh-sungguh untuk
merealisasikan dan menyempurnakan keikhlasan tersebut, serta
menjauhi/menghindari segala sesuatu yang bisa merusaknya. Seperti riya’, sum’ah
dan mengharap pujian dan penghormatan dari manusia. Jika pun itu terjadi/ia
dapatkan, akan tetapi bukan karena ia menghendakinya atau menjadikannya sebagai
tujuan, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mengharap pahala-Nya tanpa memedulikan manusia, tidak mengharap pujian dan
manfaat apapun dari mereka. Jika ada yang memuji padahal ia tidak pernah
bermaksud untuk mendapatkannya maka itu tidak akan membahayakan amalannya,
bahkan itu terkadang adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi hamba-Nya yang
beriman di dunia.
Maksud
dari sabda Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam, “Hanyasanya amal itu
tergantung niatnya” adalah bahwa segala sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali
dengan niat, dan porosnya ada pada niat. Kemudian “Setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.” Bahwa baik atau rusaknya suatu
tindakan atau perbuatan tergantung dengan niat, juga kesempurnaan dan
kekurangannya; barang siapa yang meniatkan perbuatan baik untuk tujuan yang
mulia –mendekatkan diri kepada Allah- maka ia akan mendapatkan pahala dan
balasan yang sempurna. Apabila keikhlasannya kurang maka kurang pula pahala/ganjarannya,
barangsiapa yang niatnya bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia
kehilangan kebaikan dan hanya mendapatkan tujuan yang rendah dan remeh.
Oleh karenan
Nabi Sallallahu’alaihi wasallam memberikan sebuah contoh agar semua perkara
bisa dikiaskan/dianalogikan dengan contoh yang beliau n sebutkan, beliau
bersabda, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya akan sampai atas apa yang ia niatkan dan
pasti adanya pahala di sisi Allah. “Barang siapa yang hijrahnya karena dunia
yang hendak dicarinya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya
(hanya) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Disebutkan wanita yang hendak
dinikahi secara khusus, setelah penyebutan dunia secara umum, untuk menjelaskan
bahwa semuanya adalah tujuan yang rendah dan tidak bermanfaat.
Demikian pula ketika beliau n ditanya mengenai orang yang
berperang dengan maksud agar dikatakan pemberani, atau karena fanatisme
kesukuan, atau agar manusia mengetahui kepandaiannya dalam berperang, manakah
yang berada di jalan Allah? Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam menjawab,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barang
siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dialah yang berada di
jalan Allah.” (Muttafaq alaih)[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perbedaan
nilai infak karena niat,
Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya dengan maksud
mencari ridha Allah, dan ....dari dirinya seperti kebun yang berada di
ketinggian.” (QS. al-Baqarah: 265)
juga firman-Nya,
“Dan orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada
manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
(QS. an-Nisa’: 34) Demikian pula dengan seluruh amalan yang lain.
Amal
kebajikan akan menjadi utama dan besar nilainya sesuai dengan kadar keimanan
dan keikhlasan yang menjadi penggeraknya dalam hati pelakunya. Bahkan, orang yang benar-benar jujur dalam niatnya –khususnya apabila ia sudah
melakukan usaha yang bisa mengantarkannya pada terlaksananya apa yang ia
niatkan- maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang telah mengamalkan
apa yang ia niatkan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barang
siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian ia ditemui oleh kematian maka pahala (hijrahnya) sudah
tetap di sisi Allah.”
(QS, an-Nisa: 100)
Dalam
Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam
bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang
muslim sakit atau melakukan safar, maka akan dicatat baginya seperti tatkala ia
beramal dalam keadaan mukim dan sehat.” (HR. al-Bukhari)[5]
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ قَالَ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya
di Madinah ada sekelompok orang yang mana tidaklah kalian melintasi lembah
melainkan mereka bersama kalian. Meskipun mereka berada di Madinah wahai
Rasulullah? Ya, meskipun mereka di Madinah karena mereka mempunyai udzur.” (HR. al-Bukhari)[6]
Jika seorang Muslim meniatkan suatu
kebajikan lalu dia tidak bisa melaksanakannya (karena sebab tertentu) maka niat
baiknya itu dicatat sebagai satu kebaikan yang sempurna.
Berbuat baik kepada sesama dengan
harta, perkataan maupun perbuatan adalah kebaikan dan ada pahalanya di sisi
Allah, akan tetapi menjadi lebih besar lagi pahalanya jika disertai dengan
niat. Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada
kebaikan dalam kebanyakan perbincangan mereka kecuali orang yang menyuruh untuk
bersedekah, atau berbuat kebajikan atau mendamaikan antar manusia.” (QS. an-Nisa: 114) maksudnya, bahwa semua
itu adalah kebaikan, kemudian Allah berfirman,
“Siapa melakukan itu semua karena mencari keridhaan
Allah maka Kami akan memberikan kepadanya ganjaran yang besar.” (QS, an-Nisa: 114). Dalam ayat ini Allah
menyebutkan ganjaran yang besar atas perbuatan yang dimaksudkan untuk mencari
ridha Allah. Dalam hadits marfu’ riwayat al-Bukhari di sebutkan bahwa
Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa
yang mengambil (berhutang) harta kepada manusia dengan maksud membayarnya maka
Allah akan membayarkannya, dan barang siapa yang bermaksud merusaknya maka
Allah lah yang akan merusaknya.” (HR.
al-Bukhari)[7]
Perhatikanlah bagaimana Allah
menjadikan niat yang baik sebagai sebab adanya kemudahan rezeki dan niat yang
jelek menjadi sebab musnah dan dimusnahkannya harta.
Demikian pula niat berlaku dalam
perkara-perkara yang mubah dan persoalan yang bersifat duniawi, orang yang
memaksudkan pekerjaan mencari rezeki -yang sudah menjadi rutinitasnya- agar
bisa memerkuat dirinya untuk menunaikan hak-hak Allah, melaksanakan kewajiban
dan mengerjakan sunnah, kemudian niat baik itu juga disertakan dalam makan,
minum, tidur, istirahat serta pekerjaannya, maka semua itu akan berubah dari
sekedar kebiasaan menjadi ibadah, Allah akan membukakan berkah dalam amalnya,
dan dibukakan baginya pintu-pintu kebaikan, kemudahan rezeki, dan
kebaikan-kebaikan yang tidak pernah terencana bahkan terlitas dalam hatinya.
Akan halnya dengan orang yang tidak
meyertakan niat yang baik dalam aktifitasnya hendaknya ia tidak menyalahkan
kecuali dirinya sendiri. Dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah
Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh,
tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan niat mencari wajah Allah, melainkan
kamu akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai makanan yang kamu berikan
kepada istrimu.” (HR. al-Bukhari)[8]
Dari sini pula bisa ditarik
kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung makna yang sangat
luas, mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi seorang
mukmin yang ingin sukses dan mengambil manfaat dalam hidupnya untuk benar-benar
memahami hadits ini, kemudian mengamalkannya dalam seluruh amalan dan
keadaannya setiap saat.
Adapun hadits Aisyah yang berbunyi,
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan
bagian darinya maka sesuatu itu tertolak.” Atau “Barangsiapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” Hadits
ini mengandung dua makna; yang tersurat dan yang tersirat.
Adapun secara
tekstual hadits ini menunjukkan bahwa segala bentuk bid’ah yang dimasukkan ke
dalam ajaran dien (Islam), dan tidak memiliki dasar hukum dari al-Quran maupun
as-Sunnah, baik bid’ah yang berupa teori filsafat dan pemikiran seperti Jahmiyah,
Syiah, dan Mu’tazilah atau yang semisal dengan itu semua, atau berupa bid’ah
amaliyah seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang disyariatkan oleh
Allah maupun Rasul-Nya, maka semua itu tertolak dan dikembalikan kepada
pelakunya, pelakunya tercela dengan celaan/ancaman yang sesuai dengan seberapa
jauhnya bid’ah yang dia lakukan dari ajaran agama (Islam). Siapa saja yang
mengabarkan sesuatu yang tidak disebutkan oleh Allah maupun oleh Rasul-Nya,
atau beribadah dengan (cara) ibadah yang tidak diperkenankan atau tidak
disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah ahli bid’ah. Siapa saja
yang mengharamkan yang mubah, atau beribadah dengan cara yang menyelisihi
syariat maka ia adalah ahli bid’ah.
Sedangkan
makna kontekstual dari hadits ini, bahwa siapa saja yang beramal sesuai dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya, yaitu beribadah dengan keyakinan yang lurus (benar) dan
amalan yang juga benar; baik yang wajib maupun yang sunnah, maka amalannya akan
diterima dan jerih payahnya akan diberi balasan (pahala).
Hadits ini
juga menunjukkan bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan cara yang dilarang,
maka ibadah tersebut fasidah (rusak), karena tidak sesuai dengan
kehendak yang membuat syariat, dan bahwa larangan terhadap sesuatu berakibat
rusaknya sesuatu yang dilarang itu. Demikian pula segala bentuk muamalat yang
dilarang oleh syariat dianggap tidak sah dan dianggap tidak ada.
[1] Al Bukhari, dalam bada al wahyu (1), Muslim,
bab al Imarah (1907), at Tirmidzi, bab Fadhail al Jihad (1647), an Nasai (75),
Abu Dawud, kitab Thalaq (2201), Ibnu Majah, az Zuhd (4227), Ahmad (1/43)
[2] al Bukhari, kitab as Shulh (2201), Muslim, al
Aqdhiyah (1718), Abu Dawud, as Sunah (4606), Ibnu Majah, al Muqaddimah (14),
Ahmad (6/270)
[4] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, dalam kitab al-ilmi (123),
Muslim, dalam kitab al-Imarah (1907), at-Tirmidzi, dalam Fadhail al-Jihad
(1647), an-Nasai, al-Jihad (1336), Abu Dawud, kitab al-Jihad (2517), Ibnu
Majah, al-Jihad (2783), Ahmad (4/417)
[7] al Bukhari, dalam al Istiqradh wa ad Duyun wa al Hijr wa
at Taflis (2257), Ibnu Majah, al Ahkam (2411), Ahmad (2/417)
[8] al-Bukhari,
dalam al-Janaiz (1234), Muslim, dalam al Washiyah (1628), at-Tirmidzi, dalam
al-Washaya (2116), Abu Dawud, dalam al-Washaya (2864), Ahmad (1/176), Malik,
dalam al-Aqdhiyah (1495), dan ad-Ddarimi, dalam al-Washaya (3196)
0 komentar:
Posting Komentar