Minggu, 09 Desember 2012

IKHLAS dan MUTABA'AH


Hadits ke-1 dan ke-2
عَنْ عَمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ  يَقُوْلُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
 

Dari Umar bin Khaththab radliyallahu’anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,”Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan; barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq alaih)[1]

 عَنْ عائشة قالت قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ  -وفي رواية  مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.  
Dari Tamim ad Dari a ia berkata Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami, maka ia tertolak.” [2] Dalam riwayat yang lain, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” (Muttafaq alaih)[3]
Kedua hadits ini adalah hadits yang agung. Seluruh urusan agama (Islam) masuk dalam cakupan kedua hadits ini; pokok maupun cabangnya; baik yang nampak maupun yang tersembunyi, hadits Umar adalah timbangan untuk menilai (baik buruknya) bersifat batiniyah, sedangkan hadits Aisyah adalah timbangan untuk seluruh amalan lahiriyah.
Dalam kedua hadits ini terdapat dua masalah yang sangat mendasar, pertama, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan mencontoh Rasulullah n. Hal mana keduanya adalah syarat diterimanya setiap perkataan dan perbuatan, baik yang bersifat lahir maupun batin. Barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya untuk dan karena Allah dan mencontoh Rasulullah n, maka amalnya diterima disisi Allah, sebaliknya siapa yang kehilangan kedua atau salah satu dari dua unsur tersebut dalam amalannya maka amalannya tertolak. Dan itu termasuk jenis amal yang sia-sia, seperti dalam firman Allah,
 !$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS. Al-Furqan: 23)
Sedangkan orang yang bisa memadukan antara ikhlas dan mutaba’ah, maka itulah amalan yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
 ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC 
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS, an-Nisa: 125)

(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS, al-Baqarah: 112) 

Niat adalah menyengaja untuk mengerjakan sesuatu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, mengharap ridha dan pahala-Nya. Sehingga dengan demikian amalan yang dimaksud dalam hadits di atas mencakup niatan mengerjakan sesuatu (ibadah) maupun sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (meski pada asalnya ia bukanlah ibadah)
 
Adapun niat dalam persoalan ibadah, maka tidak sah (amalan) seperti bersuci dengan segala jenisnya, shalat, zakat, shaum, haji, kecuali dengan menyengaja dan meniatkannya secara definitif (jelas). Jika ibadah yang akan dikerjakan mempunyai banyak ragam dan jenisnya, misalnya shalat, ada (shalat) yang wajib, sunnah tertentu dan sunnah mutlak, maka jika yang akan dikerjakan termasuk kategori mutlak cukup  dengan niat secara mutlak pula, namun jika yang hendak dikerjakan adalah ibadah yang tertentu (mu’ayyan), seperti shalat witir dan sunnah rawatib, maka niatnya juga harus jelas untuk mengerjakan shalat yang dimaksud. Demikian yang berlaku dalam jenis ibadah yang lainnya.

 Demikian juga seseorang harus membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan, seperti mandi yang dilakukan dengan maksud sekedar membersihkan diri atau menghilangkan panas dengan mandi yang dimaksudkan untuk menghilangkan hadats besar, memandikan mayit atau shalat jum’at. Dalam mengerjakan amalan yang dicontohkan tadi harus disertai dengan niat  menghilangkan hadats atau mandi sunnah. Demikian juga orang yang membelanjakan hartanya untuk zakat, nadzar, atau kafarat, atau untuk besedekah, atau hadiah, yang menjadi patokan dalam semua hal tadi adalah niatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas juga bahwa melakukan hiyal (mengakali suatu) dalam bermuamalat yang secara lahir sah hukumnya, namun diniatkan/dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan transaksi yang mengandung riba (misalnya), atau untuk menghindari suatu kewajiban, atau sarana untuk mencapai sesuatu yang diharamkan syariat, maka yang menjadi patokan hukum boleh atau tidaknya adalah maksud dan niatnya bukan bentuk dan lafal lahiriyahnya, karena semua amal tergantung niatnya. Seperti menggabungkan dua barang secara tidak langsung atau menggabungkan dua akad menjadi satu secara tidak langsung. Demikian menurut pendapat Syaikul Islam Ibnu Taimiyah.

Demikian juga yang berlaku dalam masalah ruju’ setelah bercerai, atau dalam masalah wasiat; tidak diperbolehkan melakukannya dengan maksud menimpakan kejelekan kepada pihak istri atau orang yang diberikan wasiat. Demikian yang berlaku dalam seluruh sarana yang menghantarkan kepada maksud tertentu, hukum yang berlaku sesuai dengan maksud (tujuan), karena dalam kaidah ushul dikatakan,
الوسائل لها أحكام المقاصد
Sarana itu dihukumi sama dengan tujuan
Baik dalam hal sah atau tidaknya, dan Allah Maha Mengetahui orang yang (bermaksud) berbuat baik atau berbuat kerusakan.
Adapun kebenaran niat kaitannya dengan kepada siapa amal itu ditujukan, yakni Allah Azza wa Jalla, maka bentuknya adalah mengikhlaskan seluruh apa yang dilakukan seorang hamba baik yang berupa melaksanakan perintah maupun meninggalkan larangan, dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 5)

“Bukankah kepunyaan Allah agama yang murni itu.” (QS. az-Zumar: 3)
Ikhlas adalah dengan menyertakan niat secara umum dalam seluruh urusan yang dimaksudkan untuk mencari wajah Allah, mendekatkan diri, mengharapkan pahala, dan takut terhadap hukuman-Nya. Kemudian menyertakan niat ikhlas tadi dalam setiap perkataan dan perbuatan yang ia lakukan secara khusus, dan segala keadaan, bersungguh-sungguh untuk merealisasikan dan menyempurnakan keikhlasan tersebut, serta menjauhi/menghindari segala sesuatu yang bisa merusaknya. Seperti riya’, sum’ah dan mengharap pujian dan penghormatan dari manusia. Jika pun itu terjadi/ia dapatkan, akan tetapi bukan karena ia menghendakinya atau menjadikannya sebagai tujuan, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala-Nya tanpa memedulikan manusia, tidak mengharap pujian dan manfaat apapun dari mereka. Jika ada yang memuji padahal ia tidak pernah bermaksud untuk mendapatkannya maka itu tidak akan membahayakan amalannya, bahkan itu terkadang adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi hamba-Nya yang beriman di dunia. 

Maksud dari sabda Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam, “Hanyasanya amal itu tergantung niatnya” adalah bahwa segala sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali dengan niat, dan porosnya ada pada niat. Kemudian “Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.” Bahwa baik atau rusaknya suatu tindakan atau perbuatan tergantung dengan niat, juga kesempurnaan dan kekurangannya; barang siapa yang meniatkan perbuatan baik untuk tujuan yang mulia –mendekatkan diri kepada Allah- maka ia akan mendapatkan pahala dan balasan yang sempurna. Apabila keikhlasannya kurang maka kurang pula pahala/ganjarannya, barangsiapa yang niatnya bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kehilangan kebaikan dan hanya mendapatkan tujuan yang rendah dan remeh. 

Oleh karenan Nabi Sallallahu’alaihi wasallam memberikan sebuah contoh agar semua perkara bisa dikiaskan/dianalogikan dengan contoh yang beliau n sebutkan, beliau bersabda, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya akan sampai atas apa yang ia niatkan dan pasti adanya pahala di sisi Allah. “Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dicarinya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Disebutkan wanita yang hendak dinikahi secara khusus, setelah penyebutan dunia secara umum, untuk menjelaskan bahwa semuanya adalah tujuan yang rendah dan tidak bermanfaat. 

Demikian pula ketika beliau n ditanya mengenai orang yang berperang dengan maksud agar dikatakan pemberani, atau karena fanatisme kesukuan, atau agar manusia mengetahui kepandaiannya dalam berperang, manakah yang berada di jalan Allah? Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam menjawab,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dialah yang berada di jalan Allah.” (Muttafaq alaih)[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perbedaan nilai infak karena niat,
Perumpamaan  orang yang menafkahkan hartanya dengan maksud mencari ridha Allah, dan ....dari dirinya seperti kebun yang berada di ketinggian.” (QS. al-Baqarah: 265)
juga firman-Nya, 
“Dan orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisa’: 34) Demikian pula dengan seluruh amalan yang lain.
Amal kebajikan akan menjadi utama dan besar nilainya sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang menjadi penggeraknya dalam hati pelakunya. Bahkan,  orang yang benar-benar jujur  dalam niatnya –khususnya apabila ia sudah melakukan usaha yang bisa mengantarkannya pada terlaksananya apa yang ia niatkan- maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang telah mengamalkan apa yang ia niatkan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia ditemui oleh kematian maka pahala (hijrahnya) sudah tetap di sisi Allah.” (QS, an-Nisa: 100)
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang muslim sakit atau melakukan safar, maka akan dicatat baginya seperti tatkala ia beramal dalam keadaan mukim dan sehat.” (HR. al-Bukhari)[5]
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ قَالَ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang yang mana tidaklah kalian melintasi lembah melainkan mereka bersama kalian. Meskipun mereka berada di Madinah wahai Rasulullah? Ya, meskipun mereka di Madinah karena mereka mempunyai udzur.” (HR. al-Bukhari)[6]
Jika seorang Muslim meniatkan suatu kebajikan lalu dia tidak bisa melaksanakannya (karena sebab tertentu) maka niat baiknya itu dicatat sebagai satu kebaikan yang sempurna.
Berbuat baik kepada sesama dengan harta, perkataan maupun perbuatan adalah kebaikan dan ada pahalanya di sisi Allah, akan tetapi menjadi lebih besar lagi pahalanya jika disertai dengan niat. Allah Ta’ala berfirman, 
    
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan perbincangan mereka kecuali orang yang menyuruh untuk bersedekah, atau berbuat kebajikan atau mendamaikan antar manusia.” (QS. an-Nisa: 114) maksudnya, bahwa semua itu adalah kebaikan, kemudian Allah berfirman,

“Siapa melakukan itu semua karena mencari keridhaan Allah maka Kami akan memberikan kepadanya ganjaran yang besar.” (QS, an-Nisa: 114). Dalam ayat ini Allah menyebutkan ganjaran yang besar atas perbuatan yang dimaksudkan untuk mencari ridha Allah. Dalam hadits marfu’ riwayat al-Bukhari di sebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa yang mengambil (berhutang) harta kepada manusia dengan maksud membayarnya maka Allah akan membayarkannya, dan barang siapa yang bermaksud merusaknya maka Allah lah yang akan merusaknya.”  (HR. al-Bukhari)[7]
Perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan niat yang baik sebagai sebab adanya kemudahan rezeki dan niat yang jelek menjadi sebab musnah dan dimusnahkannya harta.
Demikian pula niat berlaku dalam perkara-perkara yang mubah dan persoalan yang bersifat duniawi, orang yang memaksudkan pekerjaan mencari rezeki -yang sudah menjadi rutinitasnya- agar bisa memerkuat dirinya untuk menunaikan hak-hak Allah, melaksanakan kewajiban dan mengerjakan sunnah, kemudian niat baik itu juga disertakan dalam makan, minum, tidur, istirahat serta pekerjaannya, maka semua itu akan berubah dari sekedar kebiasaan menjadi ibadah, Allah akan membukakan berkah dalam amalnya, dan dibukakan baginya pintu-pintu kebaikan, kemudahan rezeki, dan kebaikan-kebaikan yang tidak pernah terencana bahkan terlitas dalam hatinya.
Akan halnya dengan orang yang tidak meyertakan niat yang baik dalam aktifitasnya hendaknya ia tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri. Dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh, tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan niat mencari wajah Allah, melainkan kamu akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. al-Bukhari)[8]

Dari sini pula bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung makna yang sangat luas, mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi seorang mukmin yang ingin sukses dan mengambil manfaat dalam hidupnya untuk benar-benar memahami hadits ini, kemudian mengamalkannya dalam seluruh amalan dan keadaannya setiap saat.
Adapun hadits Aisyah yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian darinya maka sesuatu itu tertolak.” Atau “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” Hadits ini mengandung dua makna; yang tersurat dan yang tersirat.
Adapun secara tekstual hadits ini menunjukkan bahwa segala bentuk bid’ah yang dimasukkan ke dalam ajaran dien (Islam), dan tidak memiliki dasar hukum dari al-Quran maupun as-Sunnah, baik bid’ah yang berupa teori filsafat dan pemikiran seperti Jahmiyah, Syiah, dan Mu’tazilah atau yang semisal dengan itu semua, atau berupa bid’ah amaliyah seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang disyariatkan oleh Allah maupun Rasul-Nya, maka semua itu tertolak dan dikembalikan kepada pelakunya, pelakunya tercela dengan celaan/ancaman yang sesuai dengan seberapa jauhnya bid’ah yang dia lakukan dari ajaran agama (Islam). Siapa saja yang mengabarkan sesuatu yang tidak disebutkan oleh Allah maupun oleh Rasul-Nya, atau beribadah dengan (cara) ibadah yang tidak diperkenankan atau tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah ahli bid’ah. Siapa saja yang mengharamkan yang mubah, atau beribadah dengan cara yang menyelisihi syariat maka ia adalah ahli bid’ah.
Sedangkan makna kontekstual dari hadits ini, bahwa siapa saja yang beramal sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu beribadah dengan keyakinan yang lurus (benar) dan amalan yang juga benar; baik yang wajib maupun yang sunnah, maka amalannya akan diterima dan jerih payahnya akan diberi balasan (pahala).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan cara yang dilarang, maka ibadah tersebut fasidah (rusak), karena tidak sesuai dengan kehendak yang membuat syariat, dan bahwa larangan terhadap sesuatu berakibat rusaknya sesuatu yang dilarang itu. Demikian pula segala bentuk muamalat yang dilarang oleh syariat dianggap tidak sah dan dianggap tidak ada.


[1]  Al Bukhari, dalam bada al wahyu (1), Muslim, bab al Imarah (1907), at Tirmidzi, bab Fadhail al Jihad (1647), an Nasai (75), Abu Dawud, kitab Thalaq (2201), Ibnu Majah, az Zuhd (4227), Ahmad (1/43)
[2]  al Bukhari, kitab as Shulh (2201), Muslim, al Aqdhiyah (1718), Abu Dawud, as Sunah (4606), Ibnu Majah, al Muqaddimah (14), Ahmad (6/270)
[3] Muslim, al Aqdhiyah (1718), Ahmad (6/146)
[4] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, dalam kitab al-ilmi (123), Muslim, dalam kitab al-Imarah (1907), at-Tirmidzi, dalam Fadhail al-Jihad (1647), an-Nasai, al-Jihad (1336), Abu Dawud, kitab al-Jihad (2517), Ibnu Majah, al-Jihad (2783), Ahmad (4/417) 
[5]  al-Bukhari, al Jihad wa as-Siyar (2834), Abu Dawud, al Janaiz (3091), Ahmad (4/410)
[6] al-Bukhari, dalam al Maghazi (4161), Ibnu Majah, al-Jihad (2764)
[7] al Bukhari, dalam al Istiqradh wa ad Duyun wa al Hijr wa at Taflis (2257), Ibnu Majah, al Ahkam (2411), Ahmad (2/417)
[8]  al-Bukhari, dalam al-Janaiz (1234), Muslim, dalam al Washiyah (1628), at-Tirmidzi, dalam al-Washaya (2116), Abu Dawud, dalam al-Washaya (2864), Ahmad (1/176), Malik, dalam al-Aqdhiyah (1495), dan ad-Ddarimi, dalam al-Washaya (3196)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan