Rabu, 05 Desember 2012

BUAH KEJUJURAN


Dari kejauhan nampak tiga orang berjalan menuju masjid Rasulullah. Dua orang pemuda mengapit seorang lelaki paruh baya. Mereka hendak menghadap Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallhu’anhu.
“Ada keperluan apakah kalian datang ke mari?” tanya Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, lelaki ini telah membunuh ayah kami.” Satu dari dua pemuda itu mengutarakan maksudnya.
“Apakah benar kamu membunuh ayah mereka?” tanya Umar.
“Benar, saya telah membunuh ayah mereka.” Jawab lelaki desa itu.
“Mengapa kamu membunuhnya?” tanya Umar lagi.
“Dia dan onta gembalaannya telah memasuki kebun saya. Saya sudah melarang dan menyuruhnya pergi, tapi dia tidak menggubrisnya. Lalu saya lempar dia dengan sebongkah batu. Batu itu mengenai kepalanya sehingga ia meninggal.” Terang lelaki itu.
“Jika demikian kamu di hukum qishash.” Kata Umar tegas.
“Wahai Amirul Mukminin, dengan nama Allah,  saya mohon, berilah saya waktu semalam saja untuk menemui anak dan istri saya di lembah sana, untuk sekadar memberitahu  mereka bahwa Anda akan menghum mati saya. Setelah itu saya akan kembali lagi ke sini. Demi Allah, mereka tidak punya siapa-siapa selain Allah kemudian saya.” Kata si Baduwi memohon penuh harap.
“Siapa yang memberi jaminan bahwa kamu benar-benar pergi untuk menemui keluargamu dan kamu akan kembali lagi ke sini?” tanya Umar.
Lelaki itu terdiam. Dia memang tidak kenal siapa-siapa di sini. Semua shahabt yang hadir pun terdiam, sebab tiada seorang yang mengenalnya. Siapa pula yang akan meberi jaminan padahal tidak yang mengenal lelaki itu, mereka tidak tahu di mana gubuknya, tidak tahu dari kabilahnya, tidak juga mereka tahu dimana kampung halamannya. Dan ini bukan jaminan untuk uang puluhan dinar, bukan untuk sebidang tanah atau sejumlah onta, akan tetapi jaminan leher untuk siap dipotong bila lelaki itu mangkir. 
Umar terdiam, nampaknya ia sedang berpikir keras. Apakah dia akan memberikan izin kepada tersangka? Dan itu artinya ia berpeluang untuk melarikan diri, padahal tidak seorang pun yang mengetahui di mana ia tinggal. Atau, ia tidak menyegerakan hukuman dengan konsekuensi anak istri lelaki ini bisa mati kelaparan di tengah gurun atau entah di mana.
Umar mengaguk-agukan kepalanya, lalu menoleh ke arah dua pemuda. “Apakah kalian mau memaafkannya?
“Tidak. Hukuman bagi pembunuh adalah dibunuh, wahai Amirul Mukminin.” Jawabnya.
“Adakah yang mau memberikan jaminan kepada lelaki ini?” tanya Umar kepada hadirin.
“Saya penjaminnya, wahai Amirul Mukminin.” Tiba-tiba suara itu memecah keheningan.
“Ini kasus pembunuhan, wahai Abu Dzar.” Ucap Umar seolah ingin Abu Dzar memikirkan ulang ucapannya.
“Meskipun ini adalah kasus pembunuhan.” Kata Abu Dzar.
“Apakah kamu mengenalnya?” tanya Umar lagi.
“Tidak.” Jawab Abu Dzar.
“Lalu bagaimana bisa kamu mau menjadi penjaminnya?”
“Saya melihat ciri orang beriman ada pada dirinya. Dia tidak akan berdusta dan dia pasti datang. Insya Allah.” Ucap Abu Dzar yakin.
“Apakah kamu mengira aku tidak akan menghukummu jika ia tidak kunjung datang sampai tiga hari lamanya, wahai Abu Dzar?” kata Umar dengan nada khawatir.
“Wahai Amirul Mukminin, sama sekali tidak ada maksud demikian.”
Amirul Mukiminin akhirnya memberikan waktu tiga hari kepada lelaki itu untuk mepersiapkan dirinya, pulang ke rumahnya untuk mengucap selamat tinggal kepada istri dan anak-anaknya.
Tibalah hari ketiga. Umar berdiri memimpin shalat Ashar, sementara Abu Dzar shalat tepat di belakangnya. Dua pemuda yang menuntut juga sudah hadir di masjid. Seusai shalat, Umar membalik badan,
“Mana lelaki itu, wahai Abu Dzar?”
“Saya tidak tahu, Amirul Mukminin.”
Abu Dzar melihat ke arah matahari, seolah ia berjalan begitu cepat melebihi hari biasanya. Ia menuju tenggelam. Mereka masih menunggu kedatangan tersangka pembunuhan. Suasana menjadi hening, tidak ada suara obrolan. Semua memikirkan nasib Abu Dzar. Abu Dzar memang shahabat Rasulullah yang utama, bahkan Umar pun sangat menghormatinya. Akan tetapi ini adalah hukum Allah, tidak seorang pun boleh bermain-main dengannya, tidak seorang pun boleh mendapat keistimewaan sehingga ia bisa tebebas dari hukuman…
Matahari sudah hampir tenggelam ketika di kejauhan nampak seorang lelaki berjalan menuju masjid Rasulullah. Ya dia adalah lelaki badui nan jujur itu. Umar bertakbir disambut oleh takbir  para shahabat, sebab nyawa Abu Dzar selamat.
Umar berkata, “Wahai lelaki, seandainya kamu mangkir dan tetap tinggal di rumahmu, kami tidak akan menemukanmu.”
“Wahai Amirul mukminin, urusan saya bukan dengan Anda, akan tetapi dengan Dia yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Saya meninggalkan anak dan istriku seperti keluarga seekor burung yang kelaparan. Akan tetapi saya tetap datang, sebab saya tidak ingin sikap menepati janji hilang dari manusia.”
“Lantas mengapa kamu mau menjaminnya, wahai Abu Dzar?”
“Saya tidak ingin orang-orang akan mengatakan kebaikan dan kedermawanan telah hilang dari manusia.”
“Bagaimana pendapat kalian?” tanya Umar kepada dua pemuda.
Sambil menangis keduanya menjawab, “Kami memaafkannya wahai amirul Mukminin. Kami memaafkannya karena kejujurannya. Kami tidak ingin orang-orang akan mengatakan, “Sikap pemaaf telah hilang dari hati manusia.”
Akhirnya lelaki itu pun dibebaskan dari hukuman.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan