Dari kejauhan nampak tiga orang
berjalan menuju masjid Rasulullah. Dua orang pemuda mengapit seorang lelaki
paruh baya. Mereka hendak menghadap Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallhu’anhu.
“Ada keperluan apakah kalian
datang ke mari?” tanya Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, lelaki
ini telah membunuh ayah kami.” Satu dari dua pemuda itu mengutarakan maksudnya.
“Apakah benar kamu membunuh
ayah mereka?” tanya Umar.
“Benar, saya telah membunuh
ayah mereka.” Jawab lelaki desa itu.
“Mengapa kamu membunuhnya?”
tanya Umar lagi.
“Dia dan onta gembalaannya
telah memasuki kebun saya. Saya sudah melarang dan menyuruhnya pergi, tapi dia
tidak menggubrisnya. Lalu saya lempar dia dengan sebongkah batu. Batu itu
mengenai kepalanya sehingga ia meninggal.” Terang lelaki itu.
“Jika demikian kamu di hukum qishash.”
Kata Umar tegas.
“Wahai Amirul Mukminin, dengan
nama Allah, saya mohon, berilah saya
waktu semalam saja untuk menemui anak dan istri saya di lembah sana, untuk
sekadar memberitahu mereka bahwa Anda
akan menghum mati saya. Setelah itu saya akan kembali lagi ke sini. Demi Allah,
mereka tidak punya siapa-siapa selain Allah kemudian saya.” Kata si Baduwi
memohon penuh harap.
“Siapa yang memberi jaminan
bahwa kamu benar-benar pergi untuk menemui keluargamu dan kamu akan kembali
lagi ke sini?” tanya Umar.
Lelaki itu terdiam. Dia memang
tidak kenal siapa-siapa di sini. Semua shahabt yang hadir pun terdiam, sebab
tiada seorang yang mengenalnya. Siapa pula yang akan meberi jaminan padahal
tidak yang mengenal lelaki itu, mereka tidak tahu di mana gubuknya, tidak tahu
dari kabilahnya, tidak juga mereka tahu dimana kampung halamannya. Dan ini
bukan jaminan untuk uang puluhan dinar, bukan untuk sebidang tanah atau
sejumlah onta, akan tetapi jaminan leher untuk siap dipotong bila lelaki itu
mangkir.
Umar terdiam, nampaknya ia
sedang berpikir keras. Apakah dia akan memberikan izin kepada tersangka? Dan
itu artinya ia berpeluang untuk melarikan diri, padahal tidak seorang pun yang
mengetahui di mana ia tinggal. Atau, ia tidak menyegerakan hukuman dengan
konsekuensi anak istri lelaki ini bisa mati kelaparan di tengah gurun atau
entah di mana.
Umar mengaguk-agukan kepalanya,
lalu menoleh ke arah dua pemuda. “Apakah kalian mau memaafkannya?
“Tidak. Hukuman bagi pembunuh
adalah dibunuh, wahai Amirul Mukminin.” Jawabnya.
“Adakah yang mau memberikan
jaminan kepada lelaki ini?” tanya Umar kepada hadirin.
“Saya penjaminnya, wahai Amirul
Mukminin.” Tiba-tiba suara itu memecah keheningan.
“Ini kasus pembunuhan, wahai
Abu Dzar.” Ucap Umar seolah ingin Abu Dzar memikirkan ulang ucapannya.
“Meskipun ini adalah kasus
pembunuhan.” Kata Abu Dzar.
“Apakah kamu mengenalnya?”
tanya Umar lagi.
“Tidak.” Jawab Abu Dzar.
“Lalu bagaimana bisa kamu mau
menjadi penjaminnya?”
“Saya melihat ciri orang
beriman ada pada dirinya. Dia tidak akan berdusta dan dia pasti datang. Insya
Allah.” Ucap Abu Dzar yakin.
“Apakah kamu mengira aku tidak
akan menghukummu jika ia tidak kunjung datang sampai tiga hari lamanya, wahai
Abu Dzar?” kata Umar dengan nada khawatir.
“Wahai Amirul Mukminin, sama
sekali tidak ada maksud demikian.”
Amirul Mukiminin akhirnya
memberikan waktu tiga hari kepada lelaki itu untuk mepersiapkan dirinya, pulang
ke rumahnya untuk mengucap selamat tinggal kepada istri dan anak-anaknya.
Tibalah hari ketiga. Umar
berdiri memimpin shalat Ashar, sementara Abu Dzar shalat tepat di belakangnya.
Dua pemuda yang menuntut juga sudah hadir di masjid. Seusai shalat, Umar
membalik badan,
“Mana lelaki itu, wahai Abu
Dzar?”
“Saya tidak tahu, Amirul
Mukminin.”
Abu Dzar melihat ke arah
matahari, seolah ia berjalan begitu cepat melebihi hari biasanya. Ia menuju
tenggelam. Mereka masih menunggu kedatangan tersangka pembunuhan. Suasana
menjadi hening, tidak ada suara obrolan. Semua memikirkan nasib Abu Dzar. Abu
Dzar memang shahabat Rasulullah yang utama, bahkan Umar pun sangat
menghormatinya. Akan tetapi ini adalah hukum Allah, tidak seorang pun boleh
bermain-main dengannya, tidak seorang pun boleh mendapat keistimewaan sehingga
ia bisa tebebas dari hukuman…
Matahari sudah hampir tenggelam
ketika di kejauhan nampak seorang lelaki berjalan menuju masjid Rasulullah. Ya
dia adalah lelaki badui nan jujur itu. Umar bertakbir disambut oleh takbir para shahabat, sebab nyawa Abu Dzar selamat.
Umar berkata, “Wahai lelaki,
seandainya kamu mangkir dan tetap tinggal di rumahmu, kami tidak akan
menemukanmu.”
“Wahai Amirul mukminin, urusan
saya bukan dengan Anda, akan tetapi dengan Dia yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Saya meninggalkan anak dan istriku
seperti keluarga seekor burung yang kelaparan. Akan tetapi saya tetap datang,
sebab saya tidak ingin sikap menepati janji hilang dari manusia.”
“Lantas mengapa kamu mau
menjaminnya, wahai Abu Dzar?”
“Saya tidak ingin orang-orang
akan mengatakan kebaikan dan kedermawanan telah hilang dari manusia.”
“Bagaimana pendapat kalian?”
tanya Umar kepada dua pemuda.
Sambil menangis keduanya
menjawab, “Kami memaafkannya wahai amirul Mukminin. Kami memaafkannya karena
kejujurannya. Kami tidak ingin orang-orang akan mengatakan, “Sikap pemaaf telah
hilang dari hati manusia.”
Akhirnya lelaki itu pun dibebaskan
dari hukuman.
0 komentar:
Posting Komentar