Rabu, 12 Desember 2012

TERUSLAH BERHARAP

Saat itu nampak Amir bin Rabi’ah sedang sibuk berkemas. Ia bersama istrinya Fatimah binti Al-Khathab sedang mempersiapkan perlengkapan dan bekal perjalanan hijrah menuju Habasyah.  Karena suatu keperluan Amir berpamitan keluar rumah. Saat itulah Umar bin Khathab, kakak kandung Fatimah datang. Rupanya kabar bahwa adik yang dicintainya akan meninggalkan Mekah sampai juga kepadanya. Dengan wajah sedih Umar yang ketika itu masih musyrik berkata,

“Apakah kalian akan benar-benar pergi wahai Ummu Abdillah?”
“Benar”  jawab Fathimah. “Kami akan pergi menuju belahan bumi Allah yang lain. Sebab kalian telah banyak menyakiti kami, dan memaksa kami untuk mengambil keputusan ini. Kami akan tinggal di sana, hingga Allah memberikan jalan keluar.” Sambung Fathimah.
 
“Semoga Allah menyertai kalian.” Ucap Umar lirih.
Fathimah mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Umar selembut itu sebelumnya. Ia terlihat begitu sedih dengan kepergian kami. Padahal sebelumnya tidak ada seorang pun dari kami melainkan pernah merasakan tindakan kasar dan kemarahannya.”

Tidak lama berselang, Amir pun kembali. Tapi Umar sudah pergi.


“Wahai Abu Abdillah, seandainya tadi kamu bertemu Umar, dan melihat raut kesedihannya karena kepergian kita.” Fatimah menceritakan.
“Apakah kamu masih berharap orang seperti dia akan mau masuk Islam?” Tanya Amir dengan nada sangsi.
“Ya.” Jawab Fathimah singkat.

“Umar tidak akan mungkin masuk Islam sampai keledainya masuk Islam duluan.” Ujar Amir dengan nada pesimis.
Amir berkata demikian karena sudah sangat sering menjadi sasaran tindak kekerasan Umar, bahkan hingga sesaat menjelang keislaman Umar.   
*Janganlah berbagai kesulitan menyebabkanmu berhenti berharap kebaikan. Dan jangan pernah menutup pintu untuk segala kemungkinan.   
 

*Disadur dan diterjemahkan dari buku 'Hakadza Hazamul Ya's' 

JANGAN berPUTUS asa

Selalu memiliki keyakinan. Selalu mempunyai semangat. Selalu memupuk harapan. Itulah sebagian sifat yang seharusnya melekat seorang mukmin. Ia tidak pernah mengenal sikap putus asa dalam kamus hidupnya. Sebab, putus asa berarti melemahnya keyakinan, lumpuhnya semangat, dan hilangnya harapan. Sedangkan ia mengerti bahwa Allah telah melarang itu, 

“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.”
Sikap putus tidak akan pernah bisa menguasai hati orang beriman. Karena keputusasaan hanya akan mematikan gerak hidupnya, menjadikan kakinya tertanam dalam lumpur kelemahan, sehingga tidak mampu mengubah keadaan dirinya. Parahnya lagi tawakalnya berangsur-angsur  memudar, lalu berburuksangka kepada Allah. Karena itu ia selalu ingat akan teguran Tuhannya,
“Janganlah kamu sekalian berputusasa dari rahmat Allah. Tiada yang berputusasa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.”
Ya. berputusasa berarti mendahului takdir. Sikap sok tahu. Seolah kegagalan sekarang adalah kegagalan esok, lusa dan seterusnya. Padahal tiada yang mengerti perkara apa dikemudian hari, kecuali Dia yang Maha Mengetahui.
Oleh itu, berbaiksangkalah kepada Allah. Sebab Dia akan memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan persangkaannya. Jika baik, baik pula. Jika buruk, buruk pula.
Baginda Nabi menasihatkan, “Optimislah dalam meraih kebaikan, niscaya kalian akan mendapatkannya.” 
Berikutnya, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, atau ingin memetik buah kebikan sebelum benar-benar matang. Ada pepatah gurun mengatakan, “Siapa yang ingin memetik hasil sebelum waktunya, maka ia diganjar dengan kegagalan.”
Lalu, timbanglah segala keadaanmu dengan timbangan langit. Renungkan dengan logika langit. Agar lapang jiwamu, dan luas ruang pandangmu. Jangan hanya menimbang dengan logika bumi, sebab ia akan menghempaskanmu ke ruang yang gelap dan sempit.

*Disarikan dari bagian awal buku “Hakadza Hazamul Ya’s”  Salwa Al-Udhaidan. 

MENGUSIR si MALAS

“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesunngguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan."
 (Al-Ankabut: 69)
Kesungguhan dan keluhuran cita-cita. Ya kesungguhan berarti keseriusan, ketelitian, tekun, dan tuntas. Kesungguhan kata Ibnu Qayyim adalah salah satu tanda kesempurnaan kita sebagai manusia,

“Kesempurnaan manusia terlatak pada keluhuran cita-cita yang akan mengangkatnya ke derajat yang tinggi, dan ilmu yang menunjukinya jalan menuju kemuliaan itu.”  

Kesuksesan dalam hidupmu tergantung kepada sejauh mana kegigihanmu. Dan keuletan adalah jalan paling mudah meraih tujuan.

Ingatlah Allah sejak engkau bangun dari tidurmu, maka Allah akan membimbingmu untuk selalu waspada. Malailah harimu dengan wudhu dan shalat maka Allah akan memutus belenggu setan dari dirimu.”

Penuhi harimu dengan aktivitas; mengasah pikiran, pekerjaan tangan, atau pun fisik, mengkaji berbagai persoalan, dan saat yang lain bersantai dan berkunjung ke sesama suadara.

Buatlah jadwal untuk setiap kegiantan yang akan kamu lakukan. Jika ada yang terlewatkan, berilah sangsi pada dirimu sendiri, misalnya dengan menunda sesuatu yang menyenangkan bagi jiwamu. Sebab menuruti apa yang disukaannya dalam keadaan demikian hanya akan menyebabkan nafsu semakin sulit untuk kamu kendalikan.

Konsumsilah makanan yang sesuai dengan kebutuhan badan kamu, dan bisa memberi kekuatan dan energy yang cukup.


Membaca doa berikut pada pagi dan sore hari,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah aku berlindung kepadamu dari kekhawatiran dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan bakhil, dan aku berlindung kepadaMu dari lilitan hutang dan kezaliman manusia.”

Yakinkan dirimu bahwa kemalasan itu bukan karena kamu mengidap suatu penyakit fisik. Jika sakit, segeralah berobat.

Jika Anda tidak ingin lelah, maka bersusah payahlah sehingga Anda tidak lagi merasakan lelah. Jangan bermalas-malas, tapi jangan pula tergesa-gesa. Sebab, kemalasan menyebabkan kamu tidak bisa melakukan sesuatu, sedangkan ketergesa-gesaan akan menggerogoti kesabaranmu dalam menjalani proses segala urusan.

Ingat, bahwa malas adalah satu sifat orang munafik, “Dan apabila mereka hendak berdiri untuk shalat, mereka beridiri  dengan malas.” Allah menghasung agar kita membuang kemalasan dengan cara bersegera dan berlomba mengerjakan kebajikan.
Ingatlah, bahwa kemalasan adalah penyebab kegagalan. Sebagaimana ketekunan adalah jalan menuju sukses. Tidak ada orang yang bermalas-malan melainkan kegegalan adalah hasil yang pasti ia petik. Kemuliaan tidak akan diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya. Dan bukan kepada orang yang menyia-nyiakan waktunya. Kemalasan adalah kekuatan bagi setan. Dengannya ia bisa leluasa menjadikan hidupmu mengalami kemandegan.
Ingatlah segala hal yang bisa memotivasimu untuk terus melanjutkan perjalanan;

“Kemalasan adalah kunci keburukan, melahirkan kefakiran dan hasilnya adalah kehancuran.”

“Tiga hal yang tida bisa dicari jalan penyelsaiannya; kefakiran yang bersatu dengan kemalasan, perdebatan yang dilatarbelakangi kedengkian,  dan sakit yang disebabkan karena usia yang sudah renta.”

“Orang yang capai karena melakukan kerja keras bisa tudur nyeyak berbantalkan batu cadas, sedangkan pemalas tidak akan bisa tidur dengan damai meski di atas bantal yang terbuat dari bulu yang halus.”


*Dikutip dan diterjemahkan dari tulisan DR. Muhammad Fathi.

KEFAKIRAN dan KEKAYAAN yang SEBENARNYA

Ketika kefakiran itu hanya dimaknai sebagai kekerungan atau ketiadaanmu secara materi, maka tak terbilang manusia benar-benar menjadi menjadi fakir. Sebab, kekuatan kemanusiaannya menjadi lemah dan rendah. Kesimpulan itu berubah menjadi rasa, sehingga merusak segala potensi dan kekuatan jiwanya.

Ketika kefakiran itu dimaknai sebagai ketiadaan wujud amal  baik pada diri kita, maka semua manusia berpeluang menjadi kaya. Kekuatan kemanusiaan kita akan bangkit, dan semua potensinya akan bermunculan.

Ketika rasa takut itu tertuju para kekurangan dan penderitaan hidup, maka kata ‘takut’ itu akan manafsirkan seratus kerendahan yang sebenarnya tidak menakutkan.

Akan tetapi ketika rasa takut itu tertuju kepada kepada kehidupan akhirat dan siksa-Nya, maka jadilah kata ‘takut’ itu simpul kemuliaan. Demikianlah agama Islam menjadikan pemeluknya manusia yang berjiwa besar. Orang yang tidak ada kalimat yang tertuju pada dirinya, “Orang itu sudah kalah jiwanya.”  (Ar-Rafi’i)


*Dari sebuah kitab yg tidak saya ingat judulnya.

seperti PELITA KACA seperti MUTIARA

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (An-Nur: 35)


Harus jujur saya  akui bahwa ini adalah sebuah kelalaian. Sering membaca dan mendengar tapi luput dari pemaknaan dan penghayatan. Dan memang sering begitu. Betapa banyak ayat dibaca, betapa sering nasihat didengar, tapi hanya berlalu begitu saja.  Ah…untuk kesalahan yang ini saja rasanya saya harus banyak berucap istighfar. Saya baru termenung saat membaca penjelasan Syaikh Musthafa Al-Adawi Hafizhahullah mengenai maksud dari permisalan dalam ayat di atas.

Bahwa perumpamaan dalam ayat di atas adalah tentang hati. Ya tentang hati kita. Pertama, bahwa Allah lah sumber segala cahaya, segala kebaikan yang melekat pada segala sesuatu. Seperti sabda Rasulullah dalam salah satu doanya, “Yaa Allah, milik-Mu segala puji. Engkau adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi, dan siapa yang ada di dalamnya.” (HR. Muslim)

Lalu Allah memisalkan cahaya Allah di dalam hati orang-orang beriman adalah seperti lampu yang berada dalam ruang yang tak tembus cahaya. Dan lampu itu berada berada dalam wadah keca, sehingga cahayanya itu benar-benar terang dan merata ke seluruh ruangan. 

Dan lagi, kaca itu dengan kehalusannya, ia teramat kuat dan keras seperti mutiara. Demikianlah (seharusnya) hati seorang mukmin. Hati yang putih bersih, halus tapi sangat kuat. Di sinilah letak keunikan hati orang yang beriman; ia memiliki sifat yang halus, lembut, dan penyayang (Ali Imran: 159, Al-Fath: 29, dan Asy-Syu’ara: 215)   


Di saat yang sama ia juga memiliki sifat yang keras, kuat, dan kokoh. Kuat memegang kebenaran, kuat menghadapi cobaan, dan keras kepada musuh-musuh Allah, (At-Tahrim: 9, At-Taubah: 123) Cahaya seperti inilah yang menjadikan jiwa menjadi lapang. Lalu cahaya itu menerangi dan menjadi energi bagi seluruh jawarih. Sehingga tangan hanya memegang yang baik, kaki hanya melangkah menuju kebaikan, mata melihat dan telinga mendengar untuk mengambil pelajaran. Demikian pula lisan hanya mengucapkan perkataan yang yang ma’ruf, sedangkan otaknya berpikir bagaimana menambah pundi-pundi ketaatan. Demikianlah cahaya itu menyertai hati, menerangi rumah dengan cahaya iman, menjadi teman dan pengingat dalam perjalanan, penjaga disaat sendirian.

Lalu Allah melanjutkan permisalan yang indah ini, bahwa benderang cahaya lampu itu  berasal dari minyak pohon terbaik yang diberkati, zaitun. Dan lagi pohon zaitun itu tumbuh di tempat yang sangat ideal, yaitu di puncak bukit, sehingga pohon itu mendapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit hingga matahari terbenam. Pohon zaitun yang demikian akan tumbuh subur dan buahnya menghasilkan minyak yang berkuwalitas. Demikianlah hati orang yang beriman, kekuatan dan cahayanya berasal dari yang Maha Perkasa, kekuatan iman dan fitrah yang sehat. Kekuatan yang dibimbing oleh ilmu sehingga terbentuklah pribadi yang gemilang, yang bersih dan bersinar terang meskipun tidak disentuh api. Adapun ‘kegelapan’ sekitarnya, membuat cahayanya semakin terang. Ujian dan cobaan menjadikannya semakin kuat dan menjadi ladang kebaikan. 
Sungguh menakjubkan, si pemilik hati dengan segudang prestasi. Dengan segala kebaikan dan kesuksesannya melalui berbagai ujian, ia selalu menyadari bahwa semuanya semata-mata karunia Allah. Bukan karena dirinya. Tertutuplah pintu kesombongan, sehingga setan tak mampu menggelincirkannya.
“…Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”


Allahumma muqallibal qulub tsabbit qulubana 'ala dienika...



 
*Dikutip dan diadaptasi dari Syifaul Qulub, karya As-Syaikh Musthafa Al-Adawi.

Siapa Memilih untuk Menderita?

Ibnu Taimiyah berkata,“Jika seseorang merasakan kelezatan dan kebahagiaan bukan karena Allah, bukan pula di jalan Allah, maka ia tidak akan berkekalan. Ia akan segera bosan dan berpindah dari satu macam kelezatan pada kelezatan yang lain, dari seorang ke orang yang lain. Ia bisa menikmatinya dalam satu keadaan, namun tidak dalam keadaan yang lain. Bahkan sebaliknya, bisa jadi dia menderita karenanya, hingga bahagia itu menyiksa batinnya.”
Ketahuilah, siapa saja yang mencintai sesuatu karena selain Allah, maka yang cintainya hanya akan menyakitinya, dan menjadi penyebab hatinya tersiksa; baik cintanya terbalas ataupun tertolak. Sebab, jika ia tidak bisa meraihnya, ia akan menderita dan tersiksa karena terpisah, jika ia mendapatinya pun, deritanya akan lebih banyak dari kelezatannya, mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya. Alhasil, cinta kepada makhluk akan menjadi becana baginya, kecuali cinta karena Allah, dan di jalan Allah. Cinta seperti itulah yang akan menjadi keindahan dan kesempurnaan sebagai hambaNya.” (Ad-Durar min Kalami Syaikhil Islam)

CITA-CITA para JUARA

Sejarah mencatat sebuah peristiwa ‘sederhana’ yang terjadi belasan abad silam. Empat orang pemuda sedang berada di Ka’bah, dekat Rukun  Yamani. Mereka adalah tiga bersaudara; Abdullah bin Zubair, Thalhah bin Zubair dan Urwah bin Zubair. Sedangkan satunya lagi adalah Abdul Malik bin Marwan. Di tempat yang mulia itu mereka berbincang-bincang tentang cita-cita.
“Aku bercita-cita ingin menjadi penguasa Hijaz.” Kata Abdullah.
“Aku ingin menjadi penguasa Irak.” Kata Thalhah.”
“Aku ingin menjadi seorang alim yang terpercaya.” Ungkap Urwah.
“Jika kalian merasa puas dengan cita-cita kalian, maka saya pun bercita-cita ingin menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin.” Pungkas Abdul Malik.
Obrolan singkat ini dicatat oleh sejarah. Dan akhirnya sejarah pula yang menjadi saksi bahwa mereka tidak sedang berangan-angan. Abdullah berhasil meraih cita-citanya menjadi pemimpin Hijaz. Thalhah menjadi gubernur Irak. Sedangkan Urwah mejadi ulama terkemuka di kalangan tabi’in, orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari bibinya, Aisyah Radhiyallhu’anha. Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berhasil menduduki kursi kekhalifahan.

Beda Cita-cita, Beda Angan-Angan
Jika untuk meraih cita-cita kau menempuh proses yang sealur dengan titik yang hedak kau tuju. Kau mengenali tabiat perjalanan, siap membayar harga untuk sampai di tempat tujuan yang dicita-citakan. Berarti kau benar-benar sedang bercita-cita. Tetapi jika sebaliknya, jalan yang kau tempuh justru berbelok arah dari titik tujuan, atau menunda pekerjaan di setiap tahapan perjalanan, dan tidak siap membayar harga yang sepadan dengan harapan, sadarlah bahwa kau sedang berangan-angan, sedang mempersiapkan kegagalan.

Apa Adanya, Mengalir Seperti Air
Seperti halnya saya, dan mungkin juga Anda pernah ditanya tentang rencana kehidupan. Lalu saya jawab, “Santai aja. Biarkan hidup mengalir seperti air.” Sebuah jawaban yang kadang sering diartikan sebagai 'hidup tanpa arah, tanpa rencana, dan liar'. Padahal tabiat air justru sungguh konsisten, selalu menuju satu titik yang pasti. Yaitu titik paling rendah yang bisa dacapainya. Jika pun ada rintangan yang menghadang di hadapan, maka dia tidak akan pernah berhenti berusaha, mencari celah, atau harus mendaki dahulu untuk kemudian menemukan jalan turun, muara adalah ujungnya. Atau ia habis dalam perjalanan sebelum sampai di tujuan, akan tetapi ia telah membuktikan bahwa ia sudah bergerak, mengalir  dan memberi arti bagi kehidupan.
Kau ada jika memiliki cita-cita. Dan kau benar-benar ada jika kau mau menempuh jalan, dan membayar harga untuk cita-citamu. Sebab, kesuksesan itu menjadi berkesan dan layak dikenang karena proses untuk menuju, dan harga yang diberikan untuk hasil yang kau ingin.

SATU berbanding SERIBU

Ini tentang kualitas, tentang sedikit tapi banyak. Tentang individu yang menjelma menjadi umat.


Pasukan Islam yang dipimpin Qataibah bin Muslim berhadapan dengan pasukan At-Turk yang seolah tak berujung. Mereka serasa seperti beberapa ekor semut berhadapan dengan sepasukan gajah. Disaat-saat genting seperti ini. Qutaibah menyadari bahwa ia membutuhkan seorang kesatria yang sebanding dengan seribu pasukan.

“Dimana Muhammad bin Wasi’? tanya sang panglima.
Tidak ada jawaban.
“Tolong panggilkan Muhammad bin Wasi’, Saya membutuhkan beliau.”

Beberapa orang kudian menelisik barisan pasukan yang berdiri kokoh. Selang beberapa lama mereka menemukan Abdullah bin Wasi’ tengah di sisi lain pasukan itu. Ia berdiri dengan bertumpu pada tombaknya, sementara teluntuk tangan kanannya menunjuk ke langit. Menyaksikan hal tersebut utusan Qutaibah memilih untuk memutar badan dan kembali menemui sang komandan.
"Mana Abdullah bin Wasi’? Tanya Qutaibah penasaran.
“Dia berada di sisi kanan pasukan ini.” Jawab salah seorang dari mereka.
“Apa yang sedang dia lakukan di sana?” Tanya Qutaibah lagi.
“Dia sedang berdoa.”
“Jari telunjuk Abdullah bin Wasi’ itu lebih aku sukai daripada seribu bilah pedang. Dan lebih aku pecayai daripada seratus orang pemuda yang terampil berperang. Sungguh, jika jari telunjuk Muhammad bin Wasi’ sudah diangkat untuk berdoa, maka doanya akan naik menembus pintu langit dan akan dikabulkan.”

***
Al-Alla’ Al-Hadhrami berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Khathab di Madinah.

Assalamualaikum…
Besama surat ini kami sampaikan bahwa kami membutuhkan bantuan pasukan. Jumlah yang kami butuhkan adalah 4000 pasukan.”

Wassalamu'alaikum.
 
Setelah menerima surat tersebut, Khalifah Umar kemudian memanggil empat orang. Ya, hanya empat orang. Mereka kemudian diberi surat pengantar untuk disampaikan kepada Al-Alla’ Al-Hadhrami, isi suratnya adalah sebagai beriukut:

“Surat Anda yang berisi permintaan bantuan pasukan sejumlah 4000 orang telah saya terima dan saya baca. Maka besama surat ini saya kirimkan untukmu empat orang, masing-masing sebanding dengan seribu orang pasukan. Pempimnnya adalah Ubadah bin Shamit, orang yang suaranya di medan tempur lebih dahsyat daripada satu kompi pasukan, lalu bagaimana dengan pedangnya?”
Wassalamu'alaik warahmatullah*
*Dikutip dari: "Al-Manarat Asy-Syakhshiyah" 

Selasa, 11 Desember 2012

MATI sebelum MATI

Pada mulanya kau mendengar dan menyakiskan
Ada janji dan kesanggupan

Berganti alam
Kau awali kehadiranmu dengan tangis
Selanjutnya tertawa, menghibur dan mengundang senyum
Kau timang bahagia di hati mereka

Bekal perjalanan sudah dipersiapkan
Pendengaran lalu penglihatan
Dan hati
Agar kau bersyukur.
Berjalan searah tujuan penciptaan.
Telinga mendengarkan
Mata memandang
Hati menyerap setiap pelajaran
Lalu terpahat indah
Menjadi hidup
Menjadi gerak
Tapi, adakah setiap yang kau dengar dan lihat terserap menjadi pelajaran?
Atau sebenarnya kau buta dan tuli?
hanya onggokan daging yg tak memiliki kehidupan?
Jika panggilan kehidupan itu tidak juga kau pedulikan
Bersiaplah untuk mati sebelum datangnya kematian.
 

SYUKUR

Seorang lelaki mendatangi Yunus bin Ubaid. Lelaki itu mengeluhkan kesulitannya, tentang ekonominya yang seret, tentang kesedihannya.
Setelah mendengar keluh-kesah tamunya ini, Yunus bin Ubaid bertanya,
“Apakah kamu mau jika aku membeli penglihatanmu dengan 100 ribu dinar?
“Tentu tidak.” Jawabnya.
“Kalau pendengaranmu?”
“Tidak.”
“Jika dengan lisanmu?” tanyanya lagi.
“Jelas saya tidak mau.”
“Kalau dengan akalmu?”
“Apalagi dengan akalku, aku lebih tidak mau.”
Kemudian Yunus bin Ubaid mengingatkannya dengan nikmat yang masih Allah berikan padanya. Kemudian beliau berkata, “Aku menyaksikan ratusan ribu nikmat pada dirimu, akan tetapi kamu masih saja mengeluhkan keadaanmu.”


Fabiayyiaalaaairabbikuma tikadzdzibaaan?

Hidup = Gerak

Mendekati akhir, menelusuri tulisan di 'rumah lama' saya tersenyum. Ternyata ada ya tulisan saya yang seperti ini. O ya, ketika menulisnya saya sedang merasa jenuh dengan setumpuk pekerjaan yang seolah tiada habisnya. Lalu rehat sejenak, dan jadilah seperti ini:
 
Menyusuri tiap baris kalimat, menata titik dan koma, agar tak salah tertangkap makna. Membumikan pesan agar tumbuh, berbuah lebat, berdaun rindang. Mengubah pesan dari bumi gurun agar bercitarasa negeri seribu pulau. 

Dan ketika jiwa lelah terjebak jenuh.  Kau harus jujur bahwa ada sisi jiwamu yang hilang. Alpa dari mengeja ayat-ayatNya yang terhampar sejauh mata memandang, berganti gelap menuju terang, terbit dan terbenam, berganti warna beralih musim. Bisa saja kau beralasan bahwa jiwamu terbang tak terkurung dalam ruang. Namun tetap saja yang tersurat di situ dengan yang tersirat di sana berbeda rasa. Dan Bahwa geraklah yang menjadikan sesuatu disebut hidup. Seperti air yang mengalir hingga ke muara. Bergerak menyusuri lembah, merambah hutan, menuruni tebing, menikmati tarian ditiap kelokan, karena itulah yang menjadikan sungai jadi indah. Menjadikan yang mati jadi hidup. Hijau. Lalu perjalanan berakhir di muara. Bersatu bersama yang telah lebih dulu tiba di sana. Memulai perjalanan yang baru, menjadi awan berarak bersama angin, menjadi hujan, lalu menumbuhkan dan mengalir lagi. Jadi, hidupmu adalah gerak.

Inginmu Merengkuh Dunia

Jika kau perturutkan segala maumu, seakan bisa merengkuh seisi dunia, padahal ia akan merusakmu. Dan pada akhirnya kau sampai pada kesimpulan bahwa ternyata ia berakhir fana. Dan hakikat sejati adalah apa yang engkau perbuat untuk negeri akhirat.

Kemenangan duniawi selalu berujung kesedihan; Ia lepas dari genggamanmu, atau kaulah yang terpaksa meninggalkannya. Keduanya adalah keniscayaan. Kecuali kebajikan yang engkau perbuat karena Allah semata, ia selalu berakhir kebahagian, segera atau tertunda; yang segera adalah engkau tak bersedih dengan apa yang menjadikan mereka bersedih. Dihargai oleh kawan, dan disegani oleh lawan. Sedangkan di sana, balasannya adalah surga.

(IBN HAZM Al AL ANDALUSI)

DOA CINTA

Cinta memang kata yang tidak pernah lekang oleh zaman.
Lantunan bait syair tak pernah bisa mengungkapkannya dengan sempurna. Lautan tinta tak pernah mampu menulis semua kalimat yang tersimpan dalam pundi aksaranya. 
Lembaran kertas tak pernah cukup untuk menulisnya hakikatnya.
Tapi yang pasti, bahwa cinta itu hanya ada dua; cinta yang membawa seseorang semikin dekat dengan cinta sang Pencipta cinta. Atau sebaliknya, justru cinta mengundang murka sang Maha Pecinta, karena salah mengartikan cinta yang sejatinya adalah anugerahNya. Cinta yang berbalut nafsu, dusta, kepalsuan, hanya akan membuat tuli dan buta mata hati. Sedangkan kelak di akhirat akan menjadi penyesalan tak terperi. Seperti nasihat Nabi kepada salah seorang shahabat beliau (Abu Darda), "Cintamu pada sesuatu bisa membuatmu tuli dan buta." (HR. Abu Dawud)
Kata beliau lain kali, "Seseorang itu akan bersama orang yang dicintainya." (Muttafaq alaih)
Sulit memang mengawal gerak hati yang sangat halus, dan jika tidak waspada, tak jarang gerak hati itu ditunggangi oleh setan. Karenanya pantaslah jika kita selalu berdoa kepadaNya. Meminta cintaNya, cinta karena dan  untukNya. Alangkah indah doa yang dipanjatkan sang Nabi teladan,   
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِى يُبَلِّغُنِى حُبَّكَ.
"Ya Allah, Aku pinta padaMu cintaMu dan cinta orang yang mencintaimu. Juga cinta kepada amal yang bisa mendekatkanku pada cintaMu." (HR. At-Tirmidzi)
اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى وَأَهْلِى وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ.
"Yaa Allah, jadikanlah cinta kepadaMu sebagai cinta yang lebih, melampaui cintaku pada diriku, keluargaku, dan air dingin di musim panas." (HR. At-Tirmidzi) 
 اللَّهُمَّ ارْزُقْنِى حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يَنْفَعُنِى حُبُّهُ عِنْدَكَ. اللَّهُمَّ مَا رَزَقْتَنِى مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لِى فِيمَا تُحِبُّ اللَّهُمَّ وَمَا زَوَيْتَ عَنِّى مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ لِى فَرَاغًا فِيمَا تُحِبُّ
"Yaa Allah, beriknlah aku rezeki berupa cintaMu dan berikanlah aku cinta orang yang cintaku padanya mendatangkan manfaat bagiku di sisiMu. Ya Allah, apa yang aku cintai dan Engkau berikan ia kepadaku, jadikan jadikanlah ia sebagai kekuatan bagiku untuk meraih cintaMu. Ya Allah, apa yang engkau jauhkan dariku, meski ia sesuatu yang sangat aku cintai, berikanlah untukku dengan sesuatu yang Engaku cintai."(HR. At-Tirmidzi)

Senin, 10 Desember 2012

MEMOHON HATI yang SADAR

Suatu ketika al-Bukhari muda sedang mengikuti pelajaran gurunya, Ishaq bin Rahawaih. Ditengah pelajaran itu sang guru berujar, "Seandainya ada di antara kalian yang mengumpulkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam. Lalu menjadikannya dalam satu buku."
Di tempat dan waktu yang berbeda, adz-Dzahabi muda sedang asyik mencatat pelajaran dari gurunya, Imam ar-Razi. Sang guru mendekat dan menilik tulisan muridnya itu. Melihat tusan muridnya, ar-Razi berkomentar, "Catatanmu mirip sekali dengan tulisan para hali hadits."
Di zaman yang berbeda, Imam Ibnu Hajar sedang membaca salah satu buku karya Ibnu Khaldun, pakar sejarah dan Ilmu Sosial yang kesohor itu. Dalam buku itu Ibnu Hajar tercenung dengan sebuah ungkapan, ketika Ibnu Khaldun mengomentari Al-Jami' ash-Shahih karya al-Bukhari, "Syarh/penjelasan untuk Shahih Al-Bukhari ini menjadi hutang umat ini hingga hari ini." sejak saat itu Imam Ibnu Hajar bertekad mensyarh Shahih Bukhari sehingga jadilah kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari yang dikatakan syarh terbaik dari sekian banyak Syarh Shahih Bukhari yang lainnya.
Sumber Inspirasi
Tiga peristiwa yang nampak sepintas lalu itu barangkali tidak bagitu berkesan bagi kita. Namun ternyata perkataan guru mereka  menjadi motivasi  luar biasa. 
Diam-diam ungkapan sang guru itu melecut jiwa Al-Bukhari. Siang malam Al-Bukhari menghimpun, meneliti, dan memilah hadits, mengembara ke berbagai pelosok negeri, mendatangi ratusan ribu  periwayat hadits, sehingga dia berhasil mengumpulkan hadits-hadits shahih, yang kemudian kita kenal dengan Al-Jami' Ash-Shahih atau lebih akrab dengan sebutan Shahih Al-Bukhari, bahkan para ulama sepakat bahwa Shahih Bukhari adalah kitab paling shahih setelah kitabullah, Al-Quran.

 Demikian halnya dengan adz-Dzahabi, pujian sederhana sang guru membangkitkan jiwa Adz-Dzahabi, sehingga ia membulatkan tekad mejadi pakar hadits, bukan sekedar mirip tulisan. Akhirnya beliau benar-benar menjadi pakar dalam bidang hadits. Persetujuan beliau akan keshahihan atau lemahnya sebuah hadits dijadikan sebagai acuan oleh orang-orang setelah beliau.

Demikianlah perkataan atau tulisan seseorang bisa  bisa menjadi sumber motivasi dan inspirasi.
Jiwa yang bersih
Mengapa seringkali kita buntu untuk mendapat inspirasi? Mengapa terasa sulit untuk menuangkan ide?
Ketulusan hati, kejujuran dan ketaatan kepada Allah jualah yang menjadikan ide mereka begitu melimpah ruah, menjadi sumber ilmu pengetahuan, meninggalkan warisan berharga yang terus menjadi sumber ilmu dan inspirasi bagi manusia yang hidup sesudah mereka. Sebab, hati yang jernih dan tulus, akan membuahkan pikiran dan ide yang jernih, menembus ruang dan waktu, mengubah orang yang mendegar dan membacanya; menghibur yang sedih jadi bahagia, yang terlena jadi tersadar, yang alpa kembali dan selalu ingat kepadaNya. Sebaliknya, betapa banyak peristiwa, tak terhitung deretan kata yang kita baca, bahkan kita mengalami berbagai tahapan dalam hidup kita, namun jarang sekali yang berbuah menjadi sumber kekuatan untuk mengubah jiwa menjadi lebih baik.
Rabbi ampuni jiwa ini yang selalu lalai dari ayat-ayatMu
Abai akan titahMu…
Kurang syukur atas nikmatMu…
Berilah kami hati dan jiwa yang sadar jaga…

PERJALANAN menuju SENJA

Sejenak merenung diri
Tentang aku juga kau
Tentang kehadiranku juga kau di sini,
di dunia ini
tentang tujuan peciptaan yang bukan main itu
Hingga dimanakah perjalanan itu kini?
Adakah matahariku juga mataharimu masih bersinar esok hari?
Adakah aku dan kau menikmati senja yang indah itu nanti?
Ataukah matahriku dan juga mataharimu tenggelam sebelum senja itu tiba?
Saat aku dan juga kau, tutup usia.

Disinilah aku juga kau semestinya berhenti. Sesaat saja
Mengaca diri, itu yang kita perlukan senantiasa.
Adakah jalan ini menuju ke titik semula?
Jalan yang menaiki tangga syurganya
Ataukah sedang melaju menuju jurang neraka
Atau aku juga kau, sedang membuat sudut yang semakin besar
Semakin jauh dari tempat tujuan

Ketika aku dan kau asyik bermain dengan hari
Tak tersadar bahwa kita sudah sampai di sini
Di hari kita yang kesekian ini
Namun, masih saja kita sia-siakan hari yang tersisa
Padahal, sisa hari hari itu masih menjadi misteri
Sebab, sisa harimu mungkin saja hanya hari ini
Besok bukan milik kita,
Tunggu apa lagi, sekarang juga…!
Mari kembali membangun jiwa…!
"Perbaiki dirimu hari ini, Allah akan mengampuni harimu yang telah lalu." Katanya.*Suatu sore di pantai utara Lombok. (copasan dari blog lama)

BANTENG yang SOLIDER VS KELINCI yang INDIVIDUALIS

Mencoba main-main dan menyaksikan dua sort video. O ya, video yang saya maksud saya lihat lihat di naqatube.com; website yang khusus menyajikan video yang sudah di saring (dari youtube juga sich kayaknya). Sepertinya namanya, naqa artinya bersih. Situs ini bisa menjadi alternative bagi Anda yang tidak ingin terganggu dengan sajian youtube yang tidak atau belum tersaring.  

Video pertama, di padang savana, beberapa ekor kelinci sedang asyik bercengkerama, memakan rerumputan hijau nan segar. Tiba-tiba ada seekor musang datang dan langsung menyasar seekor kelinci. Hanya seekor. Si musang terus mengejar dan mengejar. Kelinci berlari, maneuver, berputar dan menghindar. Musang tidak peduli dengan kelinci lain yang ada di sekitarnya. Ia hanya mengerjar satu. Dari sini mungkin kita bisa belajar tentang focus. Musang bisa saja menerkam kelinci-kelinci yang lain, yang ia lewati sepanjang jalan pelarian kelinci yang disasarnya. Tapi itu tidak dilakukannya. Sebab dia hanya ingin mendapatkan satu kelinci. Dan dalam hitungan, jika dia mencoba mengalihkan perhatian pada kelinci yang lain, maka akan sangat mungkin dia juga tertarik pada kelinci-kelinci yang lainnya lagi. Demikian seterusnya, hingga tenaganya terkuras sementara ia tidak berhasil mendapatkan satu kelinci pun. Perjuangannya pun menjadi sia-sia. Hasilnya, focus menghantarkannya pada keberhasilan. Kelinci yang dikejarnya kelelahan dan akhirnya ia berhasil memangsanya.


Video kedua, beberapa ekor banteng berjalan beriringan menyusuri pinggir danau kecil di pinggiran hutan savana. Mungkin hutan savana di Afrika sana, pikirku.  Paling depan, dua ekor banteng berjalan beserta anaknya, hingga mereka terpisah dari rombongan banteng di belakangnya. Tanpa mereka sadari, di depan sana. Di tempat mereka akan melintas, lima ekor singa sudah siap menghadang. Menghentikan perjalanan mereka. Memutus harapan mereka untuk meneruskan perjalanan itu. Melihat mangsa makin dekat, lima sianga bersiap. Bateng akhirnya mengetahui ada bahaya mengancam, tapi terlambat. Lima singa menyerang berbarengan. Serangan sporadis itu memaksa banteng berbalik arah dan lari sekuat tenaga. Malang bagi anak banteng, kecepatannya belum begitu sempurna. Kaki belakangnya berhasil diterkam seekor singa sehingga membuatnya terpelanting dan jatuh tepat ke pinggir danau. Lima singa mencengkeramnya, leher, pangkal kaki dan kepalanya menjadi sasaran utama. Lima singa berusaha melumpuhkan anak banteng. Lima singa sudah hampir berhasil menyeret anak banteng yang  sudah lemas, tiba-tiba seekor buaya muncul dari dalam air dan menarik kaki belakang anak banteng. Tarik-menarik terjadi. Singa berusaha menyeret naik, buaya berusaha merebut dan menyeret mangsa ke dalam air. Untuk sementara sianga menjadi pemenang.


Rupanya pertempuran belum benar-benar usai. Tidak lama berselang, tiba-tiba puluhan bahkan ratusan banteng dewasa datang dan langsung merengsek ke arah singa yang sedang menghabisi anak banteng. Dekat dan makin dekat. Singa-singa itu nampak pecah konsentrasi. Ingin agar buruan tidak lempas, tapi mengabaikan serangan banteng-banteng itu berakibat binasa. Satu singa berusaha melawan, banteng menyeruduk dan membantingnya hingga singa terpental. Melihat singa sudah terpisah dari temannya, sekelompok banteng berbagi sasaran, menjauhkan singa yang sudah terpisah dari kelompoknya. Hal yang sama terjadi pada singa kedua. Tapi hebatnya kali ini banteng mengarahkannya ke arah yang berlawanan dengan singa pertama. Singa kedua dikepung dan digiring hingga lari mejauh.


Tinggal tiga singa, kini kekuatan semakin tidak sebanding. Ow…rupanya anak banteng belum mati. Ia bangkit dan menyelinap di antara banteng-banteng dewasa. Tiga singa berhapan dengan puluhan banteng. Hingga akhirnya ketiganya pun harus rela dikejar dan dikalahkan oleh banteng-banteng itu.


Ada pemandangan yang sangat kontras antara sekelopok kelinci dengan seekor musang. Kelinci-kelinci itu hanya melihat saja ketika menyaksikan temannya diuber musang, pontang panting ia berlari, berputar, menghindari terkaman. Tapi toh mereka hanya bisa melihat. Bahkan ketika kelinci benar-benar kehabisan tenaga dan berhasil diterkam musang, seekor kelinci mendekat. Tapi hanya mendekat, dan melihat temannya dihabisi oleh musang itu. Tidak ada solodaritas. Tidak ada perlawanan kolektif, tidak ada shahwah jama’iyah.  


Sebaliknya dengan banteng. Induk dan jantan yang nampak meninggalkan saja anaknya yang melenguh dan meronta diterkam singa. Ternyata mereka meninggalkan untuk menyelamatkan anaknya. Faktanya, entah bagaimana komunikasi itu berlangsung, pesan bahwa ada saudara mereka yang sedang dalam bahaya benar-benar dipahami oleh banteng-banteng yang lain yang berada jauh di belakang. Sehingga mereka pun secara serempak, bergegas menuju tempat dimana anak banteng itu sedang meregang nyawa. Benar-benar solodaritas, dan perlawanan kolektif.


Dan lagi, yang dimintai bantuan oleh sepasang banteng itu bukan hewan lain. tapi sama-sama banteng. Mereka tidak salah memilik kawan. Memilih teman seperjuangan. Bukankah mereka tidak memilih meminta bantuan kepada singa, harimau, hyena, atau serigala? Mereka ternyata sadar bahwa mereka adalah musuh. Maka tidak layak dimintai bantuan. 


Fenomena diatas tentu bukan sekadar sebuah kebetulan, karena semua terjadi atas kedak-Nya. Dan yang pasti bahwa pada setiap ciptaan-Nya ada pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Pada kelinci ada pelajaran tentang ketidakpedualian dan ketidakberdayaan. Pelajaran tentang indivudualisme dan sikap apatis. Pada musang ada pelajaran tentang fokus. Pada banteng ada pelajaran tentang solidaritas, perlawanan kolektif, dan kekuatan jama’ah, juga ketelitian mengenal dan memilah siapa musuh dan siapa lawan. Wallahua’lam. 

DiK,,,!

Untuk kedua adikku yang sedang berjuang di belakang menja ujian (Semester)…

Dik, teruslah belajar dan belajar…
Kalian memang masih kecil-kecil
Tapi akak bangga…bangga bukan main
Kalian sudah berani tinggalkan kampung halaman
Kalian sudah berani menyeberangi laut hingga di sini
Kalian sudah berani menabung kerinduan pada ayah bunda
Kalian sudah berani belajar hidup mandiri…
Kalian sudah banyak bertemu dan bergaul dengan berbagai ragam manusia…

Teruskan keberanian itu…
Teruskan…

 
Rasa rindu itu, kalo ditabung, akan sangat manis ketika kita berjumpa nanti…
Rasa lapar ketika tiada lagi uang belanja, akan sangat berguna mengajari kita bagaimana bersyukur kepadaNya, berterimakasih pada ayah-bunda, pada guru, teman dan semuanya…

Jika sudah tak tahan rindu, datanglah kemari nanti selepas ujian…
Kita akan bercerita lagi…
Menyambung tawa dan rindu biar sampai di seberang sana…hingga di rumah ayah-bunda yang sederhana…

BUKAN yang INI TAK ingin yang ITU

Untuk diriku selelu:


Jika hendak bercermin jiwa.

Cobalah cari dirimu dalam kalamNya...
Adakah kau berada dalam barisan ulaa-ika humul mukminuuna haqqa [mereka itulah mukmin yang sebenarnya]? atau jangan-jangan kau termasuk alladziina qaaluu amannaa bi-afwaahihim walam tukmin quluubuhum? [orang-orang yang berkata 'kami beriman' dengan mulut-mulut mereka, akan tetapi sajatinya hati mereka belum beriman]? 
 
 Adakah kau itu golongan alladzina fie shalatihim khsyi’un?
[orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya]
Atau sebaliknya orang yang waidza qaamuu ilasshalati qaamuu kusaalaa yuraa-uunannas?
[Jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas]


Apakah dirimu tergolong yang ‘anil laghwi mu’riduun?
[berpaling dari segala perkara yang tiada bermanfaat]

Atau justru termasuk yang wa kaana amruhum furuthaa?
[urusan mereka berlebihan dan sia-sia]

Termasuk ulaa-ika humus shadiqun?
[orang-orang yang benar imannya]
Atau justru ulaa-ika humul katdzbuun?
[orang-orang yang dusta imannya]

Termasuk golongan yang alladziena hum liamaanatihim wa’ahdihim raa’uun?
[orang-orang yang menunaikan amanat dan memenuhi janji-janji ]

Atau justru termasuk ulaa-ika humul khaainuun?
[mereka itu termasuk golongan yang khianat]

Apakah kau tergolong wadzakirinallaha katsiira [yang banyak berdzikir kepada Allah] 

atau malah barisan walaa yadzkurunallaha illa qaliila [Tidak berdzikir kepada Allah melainkan sedikit saja]
 

Dan aku menyadari bukan yang ini, tapi aku juga tak ingin menjadi yang itu. Bukan yang baik, tapi juga tak ingin menjadi yang buruk.
Oleh itu yaa Rabb, bantulah aku untuk menjadi seperti yang Engkau mau.

LAKUKAN dengan BENAR

Seorang ibu tengah lelap dalam tidurnya. Tiba-tiba dala tidurnya ia bermimpi melihat anak laki-lakinya yang sudah menginjak remaja sedang menyalakan korek api. Anehnya, anak itu mendekatkan korek api yang menyala tersebut hingga membakar kedua matanya. Si ibu kaget dan terbangun. “A’udzu billahi minasysyaithanirrajiiim.” Ucapnya lirih.
Terselip perasaan khawatir terhadap buah hatinya. Apa kiranya makna mimpinya itu. Jangan-jangan…Akhirnya ibu yang penyayang itu menengok anaknya di kamar sebelah. Ia ingin meyakinkan anaknya dalam keadaan baik-baik saja. Ketika di sampaing jendela kamar, ia meligal pantulan cahaya layar monitor dari dalam kamar. Pertanda bahwa anaknya belum tidur. Namun lamat-lamat ia melihat ada yang tidak beres.
Astaghfirullah, bayangan itu…? Rupanya si anak sedang melihat adegan asusika melalui jaringan internet di komputernya. Sang ibu terkesiap, hampir saja ia berteriak marah. Namun ia tahan. Perlahan ia kembali ke kamar dengan hati gelisah. Ingin rasanya ia membangunkan suaminya, dan memberitahu apa yang sedang dilakukan anaknya. Ia ingin marah kepada suaminya yang kurang perhatian terhadap pendidikan anaknya…ia ingin menyuruh suaminya masuk kamar anaknya dan mematikan komputernya….tapi, tidak, ini bukan cara yang tepat.
“Yaa Allah tunjukkan kebaikan dan berilah hidayah kepada anakku.” Doanya. Malam itu sang ibu tidur dalam gelisah.

Keesokan harinya, ketika anaknya hendak berangkat sekolah. Di meja makan.
“Anakku sayang, menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang sedang lapar?”
“Ya apa lagi kalau bukan makan. Makan sampai kenyang. Jawabnya santai sambil melahap sarapannya.
“Bagimana kalau dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan?” tanya ibunya lagi.
Anaknya terdiam. Sepertinya ia berusaha memahami sesuatu, mencari jawaban.
“Bagaimana pendapatmu, kalau dia mengobati rasa laparya dengan melihat hidangan yang lezat-lezat. Ya cukup dengan melihatnya saja.”
“Waha... itu ma gilanya namanya. Dia pasti gila.”
“Begitu?” tanya sang ibu meyakinkan.
“Ya, boro-boro kenyang, adanya juga makin kelaperan.. ibaratnya ni ya, seperti orang yang menyiramkan air garam pada lukanya sendiri,” terang anaknya sambil menghabiskan sarapanya.
Sang ibu tersenyum lembut, lalu berkata,
“Sayang, tapi kamu telah melakukan sesuatu seperti yang orang gila itu lakukan.”
“Ah yang bener aja bu,,,mana mungkin…aku masih waras kali.”
“Ya, kamu melakukan sesuatu yang mirip dengan yang orang yang kamu katakan gila tadi. Bahkan lebih buruk dari itu. Kamu hendak memuaskan syahwatmu kepada wanita dengan melihat gambar yang tidak sepantasnya kamu lihat.”
Anaknya menunduk malu.
“Anakku, apa yang kamu lakukan itu jauh lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh orang yang kamu katakan gila tadi. Dia melihat sesuatu yang mubah, sedangkan kamu melihat sesuatu yang diharamkan. Tidakkah kamu ingat firman Allah,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur: 30)Sambil tertunduk, air matanya mengalir deras, “Bunda, maafkan saya. Maafkan saya bunda. Saya mengaku bersalah, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, selamanya.
Sang ibu memeluk putranya,
“Nak, Allah Maha menerima taubat. Jangan lagi kamu rusak pikiran dan hatimu dengan hal-hal semacam itu. Sudah berangkatlah ke sekolah. Dan hati-hati di jalan.”

so...Tegur dan luruskanlah kesalahan anak dengan cara yang benar dan tepat.
*Qashash ‘Allamatni Al-Hayat, Muhsin Jabar. 



Minggu, 09 Desember 2012

SEDIKIT PERUBAHAN

Seorang tuna netra duduk di pinggir jalan yang ramai. Dia didepatnya terdapat wadah kecil berisi berapa uang kertas dan beberapa keping uang receh. Disamping sebuah papan kecil bertuliskan:

“Saya Buta, Mohon Bantuannya”

Lama ia duduk di situ. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya; lebih banyak yang berlalu tidak peduli. Seorang pejalan kaki berhenti, merogoh sakunya, lalu meletakkan uang di

wadah milik pengemis. Sebelum berlalu, ia mengambil papan tulis kecil di samping pengemis, menghapus tulisan, lalu menggantinyad dengan tulisan yang lain, kemudian meletakkannya kembali di tempat semula. Ia kemudian berlalu meninggalkan pengemis...
Tidak seperti biasanya, wadah milik pengemis sudah penuh berisi uang. Pengemis merasa ada yang tidak biasa. Setelah berpikir sejenak, ia baru menyadari bahwa sebelumnya ada orang yang mengganti tulisannya. Ia pun meminta bantuan seorang pejalan untuk membacakan tulisan yang tertera di papan tulis.

“Kita Berada di Muslim Semi...Sayang Aku Tiada Dapat Melihat Keindahannya”

So? Jika ada yang tidak berjalan sesuai rencana, ubahlah caramu melakukannya..! Mungkin hasilnya akan berbeda.

BACAAN dan DOA SHALAT DHUHA

Adakah bacaan yang khusus untuk dibaca dalam Shalat Dhuha, dan adakah doa khusus untuk dibaca setelah kita melaksanakan Shalat Dhuha? 

Penting untuk kita ingat bahwa perkara ibadah adalah perkara yang bersifat tauqifi, artinya bersifat paket dari pembuat syariat. Kita hanya berkewajiban untuk melaksanakan sebagaimana adanya tanpa menambahi atau mengurangi. Ibadah yang bersifat mutlak dan umum tidak boleh dikhususkan, demikian sebaliknya ibadah yang bersifat khusus baik bilangan, tempat maupun waktunya tidak boleh dimutlakkan tanpa batasan.  
Demikianlah yang berlaku duntuk Shalat Dhuha. Dhuha adalah ibadah sunnah yang telah ditetapkan waktunya, tatacaranya, kecuali bilangan rakaatnya yang memang tidak dibatasi jumlah maksimalnya.
Mengenai bacaan Shalat Dhuha tidak ada dalil atau hadits shahih yang menganjurkannya, tidak pula contoh dari Rasulullah n maupun para shahabat beliau. Adapun hadis yang menganjurkan untuk membaca As Syams pada rakaat pertama dan membaca surat Ad-Dhuha yaitu hadits yang berbunyi,

صَلُّوا رَكْعَتَيْ الضَّحَى بِسُوْرَتَيْهَا  وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَ الضُّحَى
“Shalatlah dua rakaat dhuha dengan membaca dua surat dhuha, yaitu surat Was syamsi wadhuhaa haa dan surat Adh dhuha.”

Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan, “Barangsiapa yang mengamalkannya maka dia diampuni.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ar-Ruyani dalam Musnad­-nya (no. 247) dan Ad-Dailami (2:242) dari jalur Musyaji’ bin Amr. Hadits ini juga disebutkan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari ( 4/174) tanpa memberikan komentar. Beliau hanya menyatakan bahwa bacaan surat tersebut ada kesesuaian dengan shalat yang dikerjakan (Dhuha). Namun, hadits di atas adalah hadits palsu. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani, beliau mengatakan, “Hadis ini palsu, cacatnya ada pada Mujasyi’ bin Amr. (Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, no. 3774, Dhaif Al-Jami’, no. 3479)
Ibn Ma’in berkomentar tentang Mujasyi’, “Yang saya tahu dia (Majasyi’) adalah seorang pendusta.”
Al-Hakim mengatakan, “Hadits-haditsnya mungkar.”
Abu Hatim Ar-Razi, “Haditsnya tiada ada apa-apanya.” (Jawami’ul Kalim)
Ibnu Hibban Al-Busti, “Dia adalah tukang pemalsu hadits. Dia suka memalsukan hadits  lalu menyandarkannya kepada para perawi yang tsiqat.” Hadits ini juga didhaifkan oleh Al-Munawi dalam Faidlul Qodir karena adanya perawi yang bernama Mujasyi’ bin Amr. Imam Ad Dzahabi dalam Adh-Dhu’afa’ mengutip perkataan Ibn Hibban yang mengatakan, “Majasyi’ memalsukan hadis dari Ibn Lahi’ah dan dia adalah dhaif.” (Faidlul Qodir, no. 5023, juz 4:266)
Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa hadits yang menganjurkan membaca Surat Asy-Syams dan Adh-Dhuha dalam Shalat Dhuha adalah hadits dhaif bahkan palsu.
Karena hadits yang dijadikan dalil/dasar pengkhususan dua surat di atas adalah hadis palsu, maka tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengkhususkannya sebagi bacaan dalam Shalat Dhuha. Karena hadits palsu bukanlah sabda Nabi n. Sementara mengkhususkan bacaan tertentu untuk ibadah yang sifatnya umum (tidak ditentukan bacaannya) padahal tidak ada dasarnya, termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
Syaikh Ibn Bazz t pernah ditanya tentang bacaan surat Asy-Syamsi dan Adh- Dhuha ketika Shalat Dhuha. Beliau menjawab,
“Adapun mengenai bacaan, yang sesuai sunah adalah, setelah membaca Al-Fatihah Anda membaca surat apa saja yang mudah menurut Anda. Dan tidak ada batasan untuk membaca surat tertentu, karena yang wajib dibaca adalah surat Al-Fatihah, sedangkan bacaan surat setelahnya adalah sunah. Maka jika setelah Al-Fatihah Anda membaca surat As-Syamsi, Al-Lail, Ad-Dhuha, Al-Insyirah, atau surat-surat yang lainnya, ini adalah satu hal yang baik.” (Majmu’ Fatawa dan Maqalat Ibn Bazz: 11/449)
Kedua, mengenai doa Shalat Dhuha pun demikian. Tidak ada doa khusus yang dituntunkan oleh Rasulullah n, sehingga kita bisa berdoa sesuai dengan hajat dan keinginan kita. Adapun doa yang oleh sebagian orang dikatakan sebagai doa selepas Shalat Dhuha, yaitu,

اللَّهُمَّ إنَّ الضُّحَى ضَحَاؤُك وَالْبَهَا بَهَاؤُك وَالْجَمَالُ جَمَالُك وَالْقُوَّةُ قُوَّتُك وَالْقُدْرَةُ قُدْرَتُك وَالْعِصْمَةُ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِكَ وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ.
“Yaa Allah, sesungguhnya waktu dhuha ini adalah dhuha milikMu, keindahan adalah keindahanMu, kemuliaan adalah kemuliaanMu, kekuatan dan kuasa adalah kuasaMu, serta penjagaan dan adalah penjagaanMu.
Yaa Allah, jika rezekiku ada di langit maka turunkanlah. Jika ada di bumi maka keluarkanlah. Jika sulit maka mudahkanlah, jika haram maka bersihkanlah. Jika jauh maka dekatkanlah dengan hak DhuhaMU, dengan kemuliaan kedudukanMu, dengan keindahan, kekuatan, dan kuasaMu. Berikanlah rezeki kepadaku sebagaimana yang Engkau berikan kepada hamba-hambaMu yang shalihin.”

Dalam Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah yang berada dibawah bimbingan Syaikh Abdullah Al-Faqih disebutkan bahwa, “Adapun doa yang dibaca setelah Shalat Dhuha, kami tidak mengetahui adanya sanad (hadits) shahih yang menyebutkannya. Sebagian ulama Hanafiyah menganjurkan untuk berdoa ketika Shalat Dhuha. Sebagian lagi menganjurkan doa, “Allahumma inna adh-Dhuha…
Doa ini disebutkan oleh Asy-Syarwani dalam kitab Tuhfatu Muhtaj fie Syarhil Minhaj: 7/292, dan Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatu Thalibin: 1/295, juga dalam Hasyiyatul Jumal: 4312, namun beliau berdua tidak menyebutkannya sebagai hadits, tidak pula menyebutkan jalur riwayatnya. Dan sejauh yang kami ketahui doa tersebut tidak memiliki pijakan dalil dari As-Sunnah. Justru di dalanya terdapat ungkapan-ungkapan dibuat-buat, berlebihan, dan ungkapan tawasul yang tidak disyariatkan.” (Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah: 8/3729) 
Kesempulannya, Anda bisa membaca surat apa saja yang Anda kehendaki, atau yang Anda anggap mudah; bisa Surat Asyam dan Adh-Dhuha atau surat-surat lainnya, atau beberapa ayat Al-Qur’an, dan tidak perlu menghafal surat yang khusus atau doa yang khusus untuk Shalat Dhuha. Demikian pula halnya dengan doa. Anda bisa membaca doa apa saja sesuai hajat dan kebutuhan Anda. Wallahua’lam.

HADITS AGAMA ADALAH AN-NASHIHAH

Hadits ke-3


عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
 
“Dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi Shallahu’alaihiwasallam bersabda, “Sesungguhnya agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat. Para shahabat bertanya, untuk siapa wahai Rasulullah? Untuk Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, untuk imam kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim)

Nabi Sallallahu’alaihiwasallam mengulang-ulang kata nasihat untuk menekankan dan menunjukkan pentingnya masalah ini, dan agar umat mengetahui hak ilmu, serta menjelaskan bahwa agama (Islam) seluruhnya terangkum dalam satu kata yaitu an-nasihah, yaitu dengan melaksanakan lima perkara yang beliau Sallallahu’alaihiwasallam sebutkan.

Nasihat untuk Allah maksudnya, mengakui keesaan dan mentauhidkan-Nya, bahwa ia bersendiri dalam kesempurnaan yang tidak ada apa dan siapa pun berserikat dengan-Nya dalam kesempurnaan itu. Melaksanakan ibadah kepada-Nya baik secara lahir maupun batin, kembali kepada-Nya di setiap waktu dalam segala bentuk ibadah, juga dalam hal meminta, disertai rasa cemas (jika ditolak) dan harapan (akan diterima). Juga senantiasa bertaubat dan beristighfar tak kenal henti. Karena sudah pasti bahwa seorang hamba tidak bisa lepas dari kekurangsempurnaan dalam menunaikan hak-hak Allah, atau terjerumus dalam perkara yang diharamkan, sehingga dengan selalu bertaubat dan istighfar kekurangan bisa disempurnakan dan sempurna pula perkataan maupun perbuatannya.

Adapun nasihat untuk kitabullah (al-Quran), adalah dengan menghafal dan merenungkan isinya, memelajari maknanya, bersungguh-sungguh mengamalkannya serta mengajak orang lain mengamalkannya.
Nasihat untuk Rasul-Nya adalah dengan mengimani dan mencintainya, melebihi cinta terhadap jiwa, harta dan anak. Mengikuti dan mencontohnya dalam semua urusan agama baik yang pokok maupun yang cabang, mendahulukan perkataan beliau daripada perkataan selainnya, serta bersungguh-sungguh dalam mengambil petunjuknya dan menolong agama yang dibawanya (Islam).

Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin maksudnya adalah para penguasa, baik khalifah, para amir, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan baik secara umum maupun khusus. Menasihati mereka dengan mengakui kepemimpinan mereka, mendengar dan mentaati mereka, menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mentaati mereka, serta memberikan nasihat dan arahan yang bermanfaat bagi mereka dan kaum muslimin yang mereka pimpin, agar mereka menunaikan apa yang menjadi kewajiban mereka.
Adapun nasihat untuk kaum muslimin adalah dengan mencintai apa yang ia cintai untuk dirinya, membenci apa yang dia sendiri tidak menyukainya, berusaha untuk melakukan hal itu sesuai dengan kemampuan. Karena orang yang mencintai sesuatu pasti akan berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan dan menyempurnakannya. 

Nabi Sallallahu’alaihiwasallam menafsirkan nasihat dengan lima perkara tadi yaitu, menunaikan hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin secara umum, sesuai dengan tingkatan dan keadaan mereka. Tafsiran ini mencakup seluruh bagian dari dien ini, tanpa terkecuali masuk dalam hadits yang jami’ ini. Wallahu a’lam.

LIMA KARAKTER SHAHABAT (2)



Melazimi Sunnah

Sunnah adalah perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, baik yang beruapa perintah maupun larangan. Mengikuti sunnah Rasulullah berarti meneladani segala aspek kehidupan beliau; keyakinan, ibadah, akhlak, maupun muamalat beliau, menerima segala ketetapan beliau dan berhukum kepada syariat yang beliau bawa dengan sepenuh hati. Dan bagi seorang muslim, mengikuti sunnah adalah bukti kebenaran iman dan tanda kejujuran dari peryataan syahadatnya, wa asyhadu anna muhammad rasulullah.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa: 59)
“Hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulufaur rasyidin yang mendapatkan pentunjuk setelahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (Muttafaq alaih)

Abu Bakar As-Shiddiq ridhiyallahu'anhu mengatakan, “Tidaklah aku lupa mengerjakan suatu amalan yang dikerjakan oleh Rasulllah n kecuali aku akan segera mengerjakannya. Sungguh aku merasa khawatir jika aku celaka disebabkan karena meninggalkan sebagian dari sunnah beliau n.”[1]

Mengenai betapa pentingnya mengikuti Sunnah, Imam Malik t mengatakan, “Sunnah ibarat bahtera Nabi Nuh; orang yang menaikinya akan selamat, sedangkan yang tidak mau menaikinya, ia akan tenggelam.”

Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan, “Ahlu Sunnah adalah orang-orang yang sedikit jumlahnya di masa lampau, dan lebih sedikit lagi dari mereka yang masih tersisa. Yaitu orang-orang yang tidak  ikut-ikutan dengan orang-orang yang menyimpang, dan tidak pula bersama ahli bid’ah dalam kebid’ahan mereka. Mereka tetap besabar di atas sunnah hingga mereka berjumpa dengan Rabb mereka. Mudah-mudahan demikian pula kalian adanya.”[2]

Kita hidup di zaman akhir, suatu masa yang penuh dengan fitnah, sunnah sudah hampir hilang, dan hawa nafsu mendominasi. Dampaknya, pemahaman dan timbangan menjadi terbalik; kebaikan dianggap kemungkaran, sebaliknya kemungkaran dianggap sebagai kebaikan, musuh dianggap kawan, sebaliknya saudara seiman dijadikan lawan, kebejatan didukung, sedangkan kebaikan diperangi, para ulama pembawa petunjuk dipinggirkan, sebaliknya para pemuja hawa nafsu dimunculkan jadi panutan…Khusyuk berganti kepura-puraan, dan amanat berganti khianat, keramaian di masjid-masjid  beralih ke tempat-tempat hiburan, mobilisasi umat untuk ikut andil memerangi musuh berubah menjadi seruan-seruan dan ajakan untuk menyaksikan panggung hiburan dan nyanyian. Keadaan kita persis seperti yang digambarkan oleh shahabat Abu Darda a, “Seandainya Rasulullah n keluar ke tengah-tengah kalian, niscaya beliau tidak mengenal kalian sebagai umatnya, kecuali karena shalat kalian.” [3]  

Bukankah beliau n telah menegaskan, “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia bukan golonganku.” (Muttafaq alaih)

Ya. Orang yang membenci sunnah Rasulullah kelak pada hari kiamat ia akan terusir dari telaganya, sedangkan orang-orang yang berpegang kepada sunnahnya akan bisa minum di hadapan beliau n dengan tenang, seteah itu ia tidak akan pernah merasakan haus lagi setelah itu, selamanya.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada Anas bin Malik ridhiyallahu'anhu, “Kelak benar-benar akan diperlihatkan kepadaku  sekelompok manusia dari para shahabatkudi telagaku, hingga aku bisa mengenali mereka, kemudian mereka terhalang dari telagaku, hingga aku berkata, “Yaa Rabb, sahabatku…sahabatku.” Lalu diakatakan kepadaku, “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” (Muttafaq alaih)

Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita termasuk golongan orang yang disinggung oleh Al-Auzai t, “Akan datang masanya dimana saudara yang menyayangi, atau dirham yang bersumber dari yang halal, atau amal yang kerjakan sesuai sunnah menjadi perkara yang langka.”[4]


[1] Al-Bukhari dan Muslim, Al-Lu’lu’ Wal Marjan hadits no.1150.

[2]  Ighatstullahfan oleh Ibnul Qayyim: 1/70.

[3]  Al-I’tisham oleh Abu Ishaq As-Syathibi, hal. 20.

[4]  Hilyatul Auliya: 8/355.

IKHLAS dan MUTABA'AH


Hadits ke-1 dan ke-2
عَنْ عَمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ  يَقُوْلُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
 

Dari Umar bin Khaththab radliyallahu’anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,”Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan; barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq alaih)[1]

 عَنْ عائشة قالت قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ  -وفي رواية  مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.  
Dari Tamim ad Dari a ia berkata Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami, maka ia tertolak.” [2] Dalam riwayat yang lain, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” (Muttafaq alaih)[3]
Kedua hadits ini adalah hadits yang agung. Seluruh urusan agama (Islam) masuk dalam cakupan kedua hadits ini; pokok maupun cabangnya; baik yang nampak maupun yang tersembunyi, hadits Umar adalah timbangan untuk menilai (baik buruknya) bersifat batiniyah, sedangkan hadits Aisyah adalah timbangan untuk seluruh amalan lahiriyah.
Dalam kedua hadits ini terdapat dua masalah yang sangat mendasar, pertama, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan mencontoh Rasulullah n. Hal mana keduanya adalah syarat diterimanya setiap perkataan dan perbuatan, baik yang bersifat lahir maupun batin. Barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya untuk dan karena Allah dan mencontoh Rasulullah n, maka amalnya diterima disisi Allah, sebaliknya siapa yang kehilangan kedua atau salah satu dari dua unsur tersebut dalam amalannya maka amalannya tertolak. Dan itu termasuk jenis amal yang sia-sia, seperti dalam firman Allah,
 !$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS. Al-Furqan: 23)
Sedangkan orang yang bisa memadukan antara ikhlas dan mutaba’ah, maka itulah amalan yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
 ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC 
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS, an-Nisa: 125)

(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS, al-Baqarah: 112) 

Niat adalah menyengaja untuk mengerjakan sesuatu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, mengharap ridha dan pahala-Nya. Sehingga dengan demikian amalan yang dimaksud dalam hadits di atas mencakup niatan mengerjakan sesuatu (ibadah) maupun sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (meski pada asalnya ia bukanlah ibadah)
 
Adapun niat dalam persoalan ibadah, maka tidak sah (amalan) seperti bersuci dengan segala jenisnya, shalat, zakat, shaum, haji, kecuali dengan menyengaja dan meniatkannya secara definitif (jelas). Jika ibadah yang akan dikerjakan mempunyai banyak ragam dan jenisnya, misalnya shalat, ada (shalat) yang wajib, sunnah tertentu dan sunnah mutlak, maka jika yang akan dikerjakan termasuk kategori mutlak cukup  dengan niat secara mutlak pula, namun jika yang hendak dikerjakan adalah ibadah yang tertentu (mu’ayyan), seperti shalat witir dan sunnah rawatib, maka niatnya juga harus jelas untuk mengerjakan shalat yang dimaksud. Demikian yang berlaku dalam jenis ibadah yang lainnya.

 Demikian juga seseorang harus membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan, seperti mandi yang dilakukan dengan maksud sekedar membersihkan diri atau menghilangkan panas dengan mandi yang dimaksudkan untuk menghilangkan hadats besar, memandikan mayit atau shalat jum’at. Dalam mengerjakan amalan yang dicontohkan tadi harus disertai dengan niat  menghilangkan hadats atau mandi sunnah. Demikian juga orang yang membelanjakan hartanya untuk zakat, nadzar, atau kafarat, atau untuk besedekah, atau hadiah, yang menjadi patokan dalam semua hal tadi adalah niatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas juga bahwa melakukan hiyal (mengakali suatu) dalam bermuamalat yang secara lahir sah hukumnya, namun diniatkan/dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan transaksi yang mengandung riba (misalnya), atau untuk menghindari suatu kewajiban, atau sarana untuk mencapai sesuatu yang diharamkan syariat, maka yang menjadi patokan hukum boleh atau tidaknya adalah maksud dan niatnya bukan bentuk dan lafal lahiriyahnya, karena semua amal tergantung niatnya. Seperti menggabungkan dua barang secara tidak langsung atau menggabungkan dua akad menjadi satu secara tidak langsung. Demikian menurut pendapat Syaikul Islam Ibnu Taimiyah.

Demikian juga yang berlaku dalam masalah ruju’ setelah bercerai, atau dalam masalah wasiat; tidak diperbolehkan melakukannya dengan maksud menimpakan kejelekan kepada pihak istri atau orang yang diberikan wasiat. Demikian yang berlaku dalam seluruh sarana yang menghantarkan kepada maksud tertentu, hukum yang berlaku sesuai dengan maksud (tujuan), karena dalam kaidah ushul dikatakan,
الوسائل لها أحكام المقاصد
Sarana itu dihukumi sama dengan tujuan
Baik dalam hal sah atau tidaknya, dan Allah Maha Mengetahui orang yang (bermaksud) berbuat baik atau berbuat kerusakan.
Adapun kebenaran niat kaitannya dengan kepada siapa amal itu ditujukan, yakni Allah Azza wa Jalla, maka bentuknya adalah mengikhlaskan seluruh apa yang dilakukan seorang hamba baik yang berupa melaksanakan perintah maupun meninggalkan larangan, dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 5)

“Bukankah kepunyaan Allah agama yang murni itu.” (QS. az-Zumar: 3)
Ikhlas adalah dengan menyertakan niat secara umum dalam seluruh urusan yang dimaksudkan untuk mencari wajah Allah, mendekatkan diri, mengharapkan pahala, dan takut terhadap hukuman-Nya. Kemudian menyertakan niat ikhlas tadi dalam setiap perkataan dan perbuatan yang ia lakukan secara khusus, dan segala keadaan, bersungguh-sungguh untuk merealisasikan dan menyempurnakan keikhlasan tersebut, serta menjauhi/menghindari segala sesuatu yang bisa merusaknya. Seperti riya’, sum’ah dan mengharap pujian dan penghormatan dari manusia. Jika pun itu terjadi/ia dapatkan, akan tetapi bukan karena ia menghendakinya atau menjadikannya sebagai tujuan, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala-Nya tanpa memedulikan manusia, tidak mengharap pujian dan manfaat apapun dari mereka. Jika ada yang memuji padahal ia tidak pernah bermaksud untuk mendapatkannya maka itu tidak akan membahayakan amalannya, bahkan itu terkadang adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi hamba-Nya yang beriman di dunia. 

Maksud dari sabda Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam, “Hanyasanya amal itu tergantung niatnya” adalah bahwa segala sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali dengan niat, dan porosnya ada pada niat. Kemudian “Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.” Bahwa baik atau rusaknya suatu tindakan atau perbuatan tergantung dengan niat, juga kesempurnaan dan kekurangannya; barang siapa yang meniatkan perbuatan baik untuk tujuan yang mulia –mendekatkan diri kepada Allah- maka ia akan mendapatkan pahala dan balasan yang sempurna. Apabila keikhlasannya kurang maka kurang pula pahala/ganjarannya, barangsiapa yang niatnya bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kehilangan kebaikan dan hanya mendapatkan tujuan yang rendah dan remeh. 

Oleh karenan Nabi Sallallahu’alaihi wasallam memberikan sebuah contoh agar semua perkara bisa dikiaskan/dianalogikan dengan contoh yang beliau n sebutkan, beliau bersabda, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya akan sampai atas apa yang ia niatkan dan pasti adanya pahala di sisi Allah. “Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dicarinya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Disebutkan wanita yang hendak dinikahi secara khusus, setelah penyebutan dunia secara umum, untuk menjelaskan bahwa semuanya adalah tujuan yang rendah dan tidak bermanfaat. 

Demikian pula ketika beliau n ditanya mengenai orang yang berperang dengan maksud agar dikatakan pemberani, atau karena fanatisme kesukuan, atau agar manusia mengetahui kepandaiannya dalam berperang, manakah yang berada di jalan Allah? Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam menjawab,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dialah yang berada di jalan Allah.” (Muttafaq alaih)[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perbedaan nilai infak karena niat,
Perumpamaan  orang yang menafkahkan hartanya dengan maksud mencari ridha Allah, dan ....dari dirinya seperti kebun yang berada di ketinggian.” (QS. al-Baqarah: 265)
juga firman-Nya, 
“Dan orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisa’: 34) Demikian pula dengan seluruh amalan yang lain.
Amal kebajikan akan menjadi utama dan besar nilainya sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang menjadi penggeraknya dalam hati pelakunya. Bahkan,  orang yang benar-benar jujur  dalam niatnya –khususnya apabila ia sudah melakukan usaha yang bisa mengantarkannya pada terlaksananya apa yang ia niatkan- maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang telah mengamalkan apa yang ia niatkan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia ditemui oleh kematian maka pahala (hijrahnya) sudah tetap di sisi Allah.” (QS, an-Nisa: 100)
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang muslim sakit atau melakukan safar, maka akan dicatat baginya seperti tatkala ia beramal dalam keadaan mukim dan sehat.” (HR. al-Bukhari)[5]
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ قَالَ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang yang mana tidaklah kalian melintasi lembah melainkan mereka bersama kalian. Meskipun mereka berada di Madinah wahai Rasulullah? Ya, meskipun mereka di Madinah karena mereka mempunyai udzur.” (HR. al-Bukhari)[6]
Jika seorang Muslim meniatkan suatu kebajikan lalu dia tidak bisa melaksanakannya (karena sebab tertentu) maka niat baiknya itu dicatat sebagai satu kebaikan yang sempurna.
Berbuat baik kepada sesama dengan harta, perkataan maupun perbuatan adalah kebaikan dan ada pahalanya di sisi Allah, akan tetapi menjadi lebih besar lagi pahalanya jika disertai dengan niat. Allah Ta’ala berfirman, 
    
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan perbincangan mereka kecuali orang yang menyuruh untuk bersedekah, atau berbuat kebajikan atau mendamaikan antar manusia.” (QS. an-Nisa: 114) maksudnya, bahwa semua itu adalah kebaikan, kemudian Allah berfirman,

“Siapa melakukan itu semua karena mencari keridhaan Allah maka Kami akan memberikan kepadanya ganjaran yang besar.” (QS, an-Nisa: 114). Dalam ayat ini Allah menyebutkan ganjaran yang besar atas perbuatan yang dimaksudkan untuk mencari ridha Allah. Dalam hadits marfu’ riwayat al-Bukhari di sebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa yang mengambil (berhutang) harta kepada manusia dengan maksud membayarnya maka Allah akan membayarkannya, dan barang siapa yang bermaksud merusaknya maka Allah lah yang akan merusaknya.”  (HR. al-Bukhari)[7]
Perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan niat yang baik sebagai sebab adanya kemudahan rezeki dan niat yang jelek menjadi sebab musnah dan dimusnahkannya harta.
Demikian pula niat berlaku dalam perkara-perkara yang mubah dan persoalan yang bersifat duniawi, orang yang memaksudkan pekerjaan mencari rezeki -yang sudah menjadi rutinitasnya- agar bisa memerkuat dirinya untuk menunaikan hak-hak Allah, melaksanakan kewajiban dan mengerjakan sunnah, kemudian niat baik itu juga disertakan dalam makan, minum, tidur, istirahat serta pekerjaannya, maka semua itu akan berubah dari sekedar kebiasaan menjadi ibadah, Allah akan membukakan berkah dalam amalnya, dan dibukakan baginya pintu-pintu kebaikan, kemudahan rezeki, dan kebaikan-kebaikan yang tidak pernah terencana bahkan terlitas dalam hatinya.
Akan halnya dengan orang yang tidak meyertakan niat yang baik dalam aktifitasnya hendaknya ia tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri. Dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh, tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan niat mencari wajah Allah, melainkan kamu akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. al-Bukhari)[8]

Dari sini pula bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung makna yang sangat luas, mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi seorang mukmin yang ingin sukses dan mengambil manfaat dalam hidupnya untuk benar-benar memahami hadits ini, kemudian mengamalkannya dalam seluruh amalan dan keadaannya setiap saat.
Adapun hadits Aisyah yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian darinya maka sesuatu itu tertolak.” Atau “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amal itu tertolak.” Hadits ini mengandung dua makna; yang tersurat dan yang tersirat.
Adapun secara tekstual hadits ini menunjukkan bahwa segala bentuk bid’ah yang dimasukkan ke dalam ajaran dien (Islam), dan tidak memiliki dasar hukum dari al-Quran maupun as-Sunnah, baik bid’ah yang berupa teori filsafat dan pemikiran seperti Jahmiyah, Syiah, dan Mu’tazilah atau yang semisal dengan itu semua, atau berupa bid’ah amaliyah seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang disyariatkan oleh Allah maupun Rasul-Nya, maka semua itu tertolak dan dikembalikan kepada pelakunya, pelakunya tercela dengan celaan/ancaman yang sesuai dengan seberapa jauhnya bid’ah yang dia lakukan dari ajaran agama (Islam). Siapa saja yang mengabarkan sesuatu yang tidak disebutkan oleh Allah maupun oleh Rasul-Nya, atau beribadah dengan (cara) ibadah yang tidak diperkenankan atau tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah ahli bid’ah. Siapa saja yang mengharamkan yang mubah, atau beribadah dengan cara yang menyelisihi syariat maka ia adalah ahli bid’ah.
Sedangkan makna kontekstual dari hadits ini, bahwa siapa saja yang beramal sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu beribadah dengan keyakinan yang lurus (benar) dan amalan yang juga benar; baik yang wajib maupun yang sunnah, maka amalannya akan diterima dan jerih payahnya akan diberi balasan (pahala).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan cara yang dilarang, maka ibadah tersebut fasidah (rusak), karena tidak sesuai dengan kehendak yang membuat syariat, dan bahwa larangan terhadap sesuatu berakibat rusaknya sesuatu yang dilarang itu. Demikian pula segala bentuk muamalat yang dilarang oleh syariat dianggap tidak sah dan dianggap tidak ada.


[1]  Al Bukhari, dalam bada al wahyu (1), Muslim, bab al Imarah (1907), at Tirmidzi, bab Fadhail al Jihad (1647), an Nasai (75), Abu Dawud, kitab Thalaq (2201), Ibnu Majah, az Zuhd (4227), Ahmad (1/43)
[2]  al Bukhari, kitab as Shulh (2201), Muslim, al Aqdhiyah (1718), Abu Dawud, as Sunah (4606), Ibnu Majah, al Muqaddimah (14), Ahmad (6/270)
[3] Muslim, al Aqdhiyah (1718), Ahmad (6/146)
[4] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, dalam kitab al-ilmi (123), Muslim, dalam kitab al-Imarah (1907), at-Tirmidzi, dalam Fadhail al-Jihad (1647), an-Nasai, al-Jihad (1336), Abu Dawud, kitab al-Jihad (2517), Ibnu Majah, al-Jihad (2783), Ahmad (4/417) 
[5]  al-Bukhari, al Jihad wa as-Siyar (2834), Abu Dawud, al Janaiz (3091), Ahmad (4/410)
[6] al-Bukhari, dalam al Maghazi (4161), Ibnu Majah, al-Jihad (2764)
[7] al Bukhari, dalam al Istiqradh wa ad Duyun wa al Hijr wa at Taflis (2257), Ibnu Majah, al Ahkam (2411), Ahmad (2/417)
[8]  al-Bukhari, dalam al-Janaiz (1234), Muslim, dalam al Washiyah (1628), at-Tirmidzi, dalam al-Washaya (2116), Abu Dawud, dalam al-Washaya (2864), Ahmad (1/176), Malik, dalam al-Aqdhiyah (1495), dan ad-Ddarimi, dalam al-Washaya (3196)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan