Harus jujur saya akui bahwa ini adalah sebuah kelalaian. Sering membaca dan mendengar tapi luput dari pemaknaan dan penghayatan. Dan memang sering begitu. Betapa banyak ayat dibaca, betapa sering nasihat didengar, tapi hanya berlalu begitu saja. Ah…untuk kesalahan yang ini saja rasanya saya harus banyak berucap istighfar. Saya baru termenung saat membaca penjelasan Syaikh Musthafa Al-Adawi Hafizhahullah mengenai maksud dari permisalan dalam ayat di atas.
Bahwa perumpamaan dalam ayat di atas adalah tentang hati. Ya tentang hati kita. Pertama, bahwa Allah lah sumber segala cahaya, segala kebaikan yang melekat pada segala sesuatu. Seperti sabda Rasulullah dalam salah satu doanya, “Yaa Allah, milik-Mu segala puji. Engkau adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi, dan siapa yang ada di dalamnya.” (HR. Muslim)
Lalu Allah memisalkan cahaya Allah di dalam hati orang-orang beriman adalah seperti lampu yang berada dalam ruang yang tak tembus cahaya. Dan lampu itu berada berada dalam wadah keca, sehingga cahayanya itu benar-benar terang dan merata ke seluruh ruangan.
Dan lagi, kaca itu dengan kehalusannya, ia teramat kuat dan keras seperti mutiara. Demikianlah (seharusnya) hati seorang mukmin. Hati yang putih bersih, halus tapi sangat kuat. Di sinilah letak keunikan hati orang yang beriman; ia memiliki sifat yang halus, lembut, dan penyayang (Ali Imran: 159, Al-Fath: 29, dan Asy-Syu’ara: 215)
Di saat yang sama ia juga memiliki sifat yang keras, kuat, dan kokoh. Kuat memegang kebenaran, kuat menghadapi cobaan, dan keras kepada musuh-musuh Allah, (At-Tahrim: 9, At-Taubah: 123) Cahaya seperti inilah yang menjadikan jiwa menjadi lapang. Lalu cahaya itu menerangi dan menjadi energi bagi seluruh jawarih. Sehingga tangan hanya memegang yang baik, kaki hanya melangkah menuju kebaikan, mata melihat dan telinga mendengar untuk mengambil pelajaran. Demikian pula lisan hanya mengucapkan perkataan yang yang ma’ruf, sedangkan otaknya berpikir bagaimana menambah pundi-pundi ketaatan. Demikianlah cahaya itu menyertai hati, menerangi rumah dengan cahaya iman, menjadi teman dan pengingat dalam perjalanan, penjaga disaat sendirian.
Lalu Allah melanjutkan permisalan yang indah ini, bahwa benderang cahaya lampu itu berasal dari minyak pohon terbaik yang diberkati, zaitun. Dan lagi pohon zaitun itu tumbuh di tempat yang sangat ideal, yaitu di puncak bukit, sehingga pohon itu mendapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit hingga matahari terbenam. Pohon zaitun yang demikian akan tumbuh subur dan buahnya menghasilkan minyak yang berkuwalitas. Demikianlah hati orang yang beriman, kekuatan dan cahayanya berasal dari yang Maha Perkasa, kekuatan iman dan fitrah yang sehat. Kekuatan yang dibimbing oleh ilmu sehingga terbentuklah pribadi yang gemilang, yang bersih dan bersinar terang meskipun tidak disentuh api. Adapun ‘kegelapan’ sekitarnya, membuat cahayanya semakin terang. Ujian dan cobaan menjadikannya semakin kuat dan menjadi ladang kebaikan.
Sungguh
menakjubkan, si pemilik hati dengan segudang prestasi. Dengan segala
kebaikan dan kesuksesannya melalui berbagai ujian, ia selalu menyadari
bahwa semuanya semata-mata karunia Allah. Bukan karena dirinya.
Tertutuplah pintu kesombongan, sehingga setan tak mampu
menggelincirkannya.
“…Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
Allahumma muqallibal qulub tsabbit qulubana 'ala dienika...
Allahumma muqallibal qulub tsabbit qulubana 'ala dienika...
*Dikutip dan diadaptasi dari Syifaul Qulub, karya As-Syaikh Musthafa Al-Adawi.
0 komentar:
Posting Komentar